Pada tulisan terdahulu, saya ceritakan bagaimana Badan POM memaksa menarik obat DMP dari Indonesia. Lalu saya pertanyakan dasar penarikan, manfaatnya penarikan, rugiannya, dan apa buktinya… Kita andaikan kita penguasa yang adil dan membuat rumus untuk penarikan suatu obat:
Rumus 3 : Obat atau zat lain akan ditarik dari peredaran kalau jumlah korban “banyak”. Berapa tepatnya remaja yang mati karena menggunakan DMP untuk “fly”? Nah, di sini kita bertemu dengan keindahan Indonesia. Tidak ada DATA. Setidaknya tidak ada data pasti. Banyak, begitu saja. Hahaha… Kalau saya cari di google, di Indonesia ada hampir 900 anak penyalahguna DMP (survei BIN dan UI, 2010); ada beberapa laporan anak yang mati, yang diduga akibat overdosis obat ini. Lima atau enam mati. Mana yang kematiannya pasti karena DMP? Tidak tahu, karena tidak ada pemeriksaan kadar DMP dalam darah waktu autopsi. Mana yang karena campuran obat lain? Tidak tahu. Mana yang mati karena obatnya palsu, seperti arak yang dicampur spiritus itu? Tidak tahu… Bandingkan ini dengan zat yang jelas-jelas membunuh ribuan atau puluhan ribu rakyat Indonesia tiap tahun, tembakau, rokok. Tapi, wah, kita tidak usah bicara melebar ke tembakau, percuma. Yang jelas, kita tidak punya bukti data yang jelas. Yang jelas juga, DMP itu sebenarnya obat yang amat sangat aman (baca artikel sebelum ini).
Rumus 4 : Obat akan ditarik dari peredaran kalau di negara big boss, Amerika Serikat, obat juga ditarik (baca artikel terdahulu mengapa saya sebut negara ini). Lho… di AS tidak pernah ada penarikan DMP dalam bentuk tunggal ataupun kombinasi. Di sebagian negara bagian, obat yang mengandung DMP tidak boleh dibeli oleh anak-anak! Anak di sini didefinisikan berbeda-beda untuk tiap negara bagian, ada yang di bawah 18 tahun, ada yang 19 tahun. Kalau dengan resep dokter, pasti boleh. Di Indonesia, karena tidak boleh dibuat, resep dokter pun percuma.
Banyak sekali pernyataan yang kacau, salah, kalau saya baca berita atau laporan tentang penarikan ini. Semoga yang salah adalah wartawannya, salah kutip. Kalau pejabat BPOM yang bikin pernyataan itu, sedih sekali.
Apa keuntungan dari kebijakan BPOM ini? Mungkin menyelamatkan lima atau enam jiwa remaja geblek dari kematian akibat penyalahgunaan DMP. Tapi apakah mereka lalu tidak memakai zat adiktif lain? Entah. Tidak ada data. Semua hanya kira-kira. Dugaan semata. Atau malah dipakai zat yang lebih berbahaya? Entah juga. Ibaratnya, orang yang ingin bunuh diri. Tidak ada Baygon, dia pakai pembersih lantai. Tidak ada zat ini, dia pakai tali. Gantung diri. Belum ada studi tentang kecenderungan beralih tadi.
Apa kerugiannya? Jelas. Seandainya DMP memang berkhasiat, maka berjuta-juta orang tidak bisa mendapat obat yang manjur untuk mengurangi batuknya. Bikin sengsara orang. Durhaka. Tapi buktinya Singapura melarang obat ini. Eh salah. Di sana obat ini masih ada. Cuma harus diresepkan dokter. Di sini tidak. Kalau kamu batuk saja, tanpa gejala lain, kamu harus memakan obat lain, campuran lain, bersamanya. Padahal obat lain itu, yang katanya semua punya sifat racun, sama sekali tidak kamu butuhkan.
Dokter yang pintar memakai sesedikit mungkin obat untuk pasiennya. Dia tidak memakai sembarang obat campuran. Tidak melakukan poli-farmasi, kasih tujuh jenis obat hanya untuk flu saja. Itu tidak sesuai dengan ilmu kedokteran modern. (Meski banyak pasien senang, puas, lega dan bangga dikasih banyak obat oleh dokter). Jadi, kalau gejala hanya batuk saja, kamu hanya perlu DMP. Tidak campuran lain.
Apa usulan saya untuk BPOM? Cabut kembali peraturan itu. Ganti dengan cara lain. Bukanlah yang terbanyak kasusnya adalah remaja? Batasi penjualan hanya untuk orang dewasa. Meniru cara di AS, bos kita dalam soal regulasi obat. Tidak percaya pada apotek? Batasi lagi hanya dengan resep dokter. Masih tidak yakin? Batasi pada apotek yang kamu yakin bagus, misal apotek Kimia Farma saja. BUMN. Tidak percaya lagi dengan dia? Kamu jual sendiri saja di depan kantor BPOM. Hehehe... Dapat untung lagi.
Yang penting, jangan hanya karena banyak perampok membunuh dengan golok dan pisau lalu kita larang orang membuat dan menjual pisau.
Tambahan: kalau di artikel sebelum ini saya mengatakan BPOM sesuka gue, gue yang kuasa, mohon jangan diambil hati. Karena itu bukan salah BPOM namun kesalahan sistem negara dalam membuat peraturan, yang semua hanya mengandalkan kekuasaan, tanpa memperhatikan masukan masyarakat. Nanti akan saya bahas tersendiri.
Baca: m.kompasiana.com/post/read/661140/1/medis-1-dekstrometorfanyang-dibenci-badan-pom-1.html
Artikel lain: klik nama saya di atas.
Tambahan: Sehari setalah saya publikasi, ada berita yang mendukung pernyataan saya di atas. Berikut berita itu.
Belitung - Seorang anak remaja (16) mengakhiri hidupnya dengan tragis, mengantung diri dengan seutas tali nilon. Pemeriksaan terhadap korban menunjukkan bahwa korban bunuh diri. Selain itu, petugas juga menemukan kaleng kosong Aibon, lem perekat serba guna, tak jauh dari jasad korban. Ketergantungan terhadap lem aibon ini sudah berlangsung lama; korban sempat dibawa orang tuanya ke panti rehabilitasi. Sumber: Yahoo/TribunNews
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H