Mohon tunggu...
D. Nugroho Kusuma
D. Nugroho Kusuma Mohon Tunggu... -

Selalulah berbagi dengan sesamamu, termasuk ide dan pikiran-pikiranmu, dan ketika akhirnya kamu menemukan banyak perbedaan dalam cara berfikir dan ide, maka bersyukurlah karena itulah dunia, sangat beragam, terajut indah oleh warna-warni yang saling melengkapi dalam harmoni sebagai sesama, peace........

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Antara Metro TV, TV-One dan Otoriterian PSSI

27 Februari 2011   07:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:14 1061
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12987925401836539179

[caption id="attachment_91435" align="alignleft" width="320" caption="Sumber : www.wartakota.co.id"][/caption]

Ketika membicarakan tentang independensi dan obyektivitas media masa, sebenarnya kita berada pada ranah persepsi insan pers terhadap suatu fenomena yang menjadi sumber pemberitaan. Maksud saya begini, saat suatu peristiwa disajikan dalam bentuk berita, bisa jadi tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya secara lengkap, karena pada dasarnya setiap suatu peristiwa selalu memiliki banyak sisi dan dimensi. Kesan saya terhadap konklusi awam ini muncul ketika bagaimana dua stasiun televisi nasional memberitakan Keputusan Komisi Banding PSSI tentang kisruh pencalonan Ketua Umum PSSI, dengan “stressing” sisi pemberitaan yang berbeda alhasil nuansa dan opini yang terbangun sangatlah jauh berbeda.

Saat saya mencermatinya di Metro TV (Metro Hari ini tanggal 25 Februari 2011), pemberitaannya lebih menekankan pada kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi selanjutnya terhadap proses pencalonan Ketua Umum PSSI, termasuk kemungkinan campur tangan pemerintah hingga bagaimana apabila sanksi pembekuan PSSI oleh FIFA benar-benar terjadi. Bahkan secara esensial Metro TV mengkaitkan persoalan tersebut dengan problem pembinaan dan pengelolaan persepakbolaan nasional oleh PSSI, dan ancaman “suspense” juga banyak memiliki hal yang positif untuk pembenahan pembinaan persepakbolaan nasional Porsi tentang klaim intervensi dan intimidasi pemerintah terhadap Komisi Banding dalam pemberitaan tsb tak lebih hanya sebagai bagian dari rangkaian berita yang memang harus disampaikan, bukan sesuatu yang penting untuk diberikan perhatian khusus.

Namun demikian pada saat yang hampir bersamaan, nampak kesan yang sangat berbeda ketika saya mengikuti pemberitaan tentang hal tersebut dari TV-One (Kabar Petang tanggal 25 dan 26 Februari 2011). Penekanan pemberitaannya cenderung pada dua hal, yang pertama adalah hanya pada persoalan dugaan intervensi pemerintah dan intimidasi pihak-pihak tertentu terhadap kinerja Komisi Banding, dan yang kedua tentang resiko “kiamat” terhadap persepakbolaan nasional apabila sanksi FIFA dijatuhkan oleh sebab adanya intervensi pemerintah. Bahkan secara khusus TV-One mengundang beberapa tokoh untuk membahas perihal tersebut pada acara Apa Kabar Indonesia Malam (tanggal 25 Februari 2011) yang menurut pandangan saya hanya untuk membenarkan dan menegaskan kembali tentang kedua opini tsb di atas (yang hadir Ketua dan Anggota Komisi banding serta pengurus PSSI, yang bisa saya katakan semua yang hadir tersebut memang “sehati” dan “sealiran”)

Dari sudut pandang saya sebagai pemirsa, sangat kuat kesan yang muncul bagaimana TV-One membangun opini bagi siapa saja yang mengikuti pemberitaan tersebut, bahwa intervensi pemerintah terhadap persoalan pencalonan Ketum PSSI maupun pada keorganisasian PSSI adalah hal yang sangat tidak pantas dan tidak patut untuk dilakukan. Tapi di sisi yang lain TV-One tidak mengupas secara obyektif mengenai pokok pangkal persoalan sehingga muncul intervensi pemerintah (apabila memang ada intervensi), atau paling tidak kalaupun memang diberitakan perihal terakhir ini, tak lebih hanya sebagai bagian dari rangkaian berita yang memang harus disampaikan (hanya numpang lewat), bukan sisi dari suatu peristiwa yang diberikan penekanan dan perhatian dalam pemberitaannya.

TV-One juga terkesan membangun opini masyarakat bahwa sanksi “suspense” dari FIFA adalah akhir dari segalanya dari persepakbolaan nasional. Terdapat beberapa penekanan perihal tersebut ketika diberitakan, baik melalui materi berita itu sendiri maupun dengan gesture tubuh pembaca berita, intonasi dan pilihan kalimat yang digunakan ketika berita dibacakan, yang sangat kuat memberikan kesan kepada saya bahwa semuanya bermuara pada keberpihakan terhadap “status quo” PSSI. Seharusnya TV-One lebih obyektif dalam mengulas pemberitaan ini dengan menampilkan berita beberapa Negara yang pernah mendapatkan sanksi suspense, yang pada kenyataannya “tidak terjadi apa-apa” selain ikhtiar pembenahan persepakbolaan Negara mereka yang justru memberikan perubahan yang positif.

Saya mempunyai alasan menyatakan demikian, karena pilihan apalagi yang bisa diambil ketika intervensi ditolak dan sanksi FIFA adalah hal yang sangat diyakini sebagai kiamat bagi dunia persepakbolaan nasional, selain pilihan untuk membiarkan “PSSI” menggulirkan rencana menaikkan kembali Yang Mulia Nurdin Halid sebagai Ketua Umum PSSI, dengan kalimat lain kepada masyarakat sepak bola Indonesia TV-One tidak memberikan pilihan lain selain “Yang Mulia Nurdin Halid” dan “Yang Tersanjung Noegraha Besoes”. Seperti halnya dengan para Pengurus PSSI yang selalu mengagung-agungkan Statuta FIFA, TV-One juga sangat sepaham ketika secara tersirat menyatakan bahwa Statuta FIFA sebagai hal yang konstitusional di dalam dunia persepakbolaan, secara contrario opini seperti ini dapat diartikan bahwa intervensi pemerintah adalah tindakan “haram” yang tidak konstitusional. Hal yang serupa juga disampaikan oleh Partai Golkar melalui juru bicara Aburizal Bakrie Lalu Mara, yang menyatakan “Golkar menyarankan agar Pemerintah jangan menggunakan cara-cara seperti periode lalu. Cara-cara otoriter dalam sebuah organisasi, dalam hal ini PSSI” (“Golkar Minta Menpora Berhenti Intervensi PSSI”, www.detik.com, tanggal 26 Februari 2011).

Saya pikir kita harus berhati-hati ketika menggunakan kata-kata “konstitusi” dan “otoriter”, ketika penilaian terhadap suatu persoalan hanya dari beberapa sisi yang terbatas dan menafikan makna dari kata-kata tersebut secara obyektif. Apakah “Konstitusi” (Baca : Statuta FIFA dan Statuta PSSI) yang bukan lahir dari rakyat Indonesia dan berlawanan dengan rasa keadilan dan norma rakyat Indonesia adalah hal yang mutlak benar dan patut untuk di-Tuhan-kan ?, dan terkait dengan pernyataan Lalu Mara, tidak jelas maksudnya, pemerintah hendak bertindak otoriter kepada siapa ?, kepada rakyatkah ? Apakah intervensi terhadap suatu proses organisasi PSSI yang menafikan rasa keadilan dan aspirasi rakyat adalah termasuk tindakan yang otoriter ? Kalau benar yang disampaikan tersebut, maka seharusnya semua tulisan dan buku yang menjadi karya Mahfud MD maupun pakar-pakar hukum lainnya menyangkut “Politik Hukum Nasional” dan “Konstitusi” untuk ditulis ulang, dan pasti ada yang salah dengan Philippe Nonet dan Philip Selznick ketika memperkenalkan Teori keadaan hukum represif, otonom dan hukum responsive oleh pemahaman dan opini dari TV-One dan Lalu Mara ini.

Sudah saatnya kita semua berhenti mendewakan “hukum positif” milik FIFA dan PSSI, seolah-olah itulah satu-satunya pegangan dan “agama” Insan Persepakbolaan Indonesia. Janganlah rakyat dipaksakan untuk menerima bahwa tidak ada kebenaran lain di luar Statuta FIFA dan bahwa kebenaran Statuta FIFA dan PSSI adalah kebenaran yang mutlak, sebuah sikap yang terlampau arogan dan takkabur, Menurut pandangan saya Statuta FIFA khususnya Statuta PSSI tak lebih seperti “hukum positif” yang oleh Mahfud MD disebut sebagai hukum yang berwatak positivis-instrumentalistik yakni hukum yang dijadikan instrumen untuk membenarkan apa yang akan atau telah dilakukan oleh penguasa (baca : Pengurus PSSI).

Terkait sanksi “suspense” FIFA, menarik untuk dikomentari ketika Presiden Sriwijaya FC, Dodi Reza Alex Noerdin menyatakan, “Jangan sampai kita di-banned oleh FIFA, sepakbola kita bisa kembali ke jaman batu” (“Dihukum FIFA Sepakbola Indonesia Kembali ke Zaman Batu”, www.detik.com, 26 Februari 2011). Sungguh satu pernyataan yang naïf dari seorang sekaliber Dodi Reza Alex Noerdin, ketika melihat bagaimana sebenarnya kondisi persepakbolaan nasional kita saat sekarang (komentar yang agak mempunyai alasan jika persepakbolaan nasional kita memang sudah mencapai taraf dunia), karena sesungguhnya saat ini kita memang sedang berada di zaman batu ketika sebagaian dari kita menyakini Statuta PSSI adalah “hukum positif” yang harus ditaati.

Adakah yang lebih buruk dari penisbian aspirasi rakyat ?, adakah yang lebih primitive dari peniadaan rasa keadilan masyarakat ?, ketika sebagaian orang yang khilaf berbicara tentang keyakinan akan kebenaran Statuta PSSI yang pada kenyataannya lebih mengarah pada pelayanan kekuasaan pengurus PSSI dan menafikan aspirasi publik. Sudah saatnya “otoriterian” dan eksklusivitas di dalam kepengurusan PSSI untuk diberantas, tiba saatnya untuk PSSI bertransformasi sebagai alat perjuangan rakyat Indonesia pada tataran filosofis yang tertinggi, yang mengutip pendapat Bernard L. Tanya yakni, mampu membangun sistem yang inklusif yang melibatkan seluruh sub sistem sosial non hukum, dan berkehendak merangkul semua kekuatan sosial yang dapat menopang vitalisasinya dalam merespons aspirasi dan kebutuhan sosial yang hendak dilayani, yakni seluruh rakyat Indonesia pecinta sepakbola, dan kesemuanya hanya bisa terwujud dengan melalui satu cara yaitu, “Revolusi PSSI”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun