Mohon tunggu...
Nugraheni Nurainii
Nugraheni Nurainii Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

hobi saya membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Perdata Islam

1 Mei 2024   13:13 Diperbarui: 1 Mei 2024   13:13 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

4. Bagaimana penyelesaian aul dan radd dilakukan?

aul : dikutip dari buku berjudul Hukum Kewarisan Islam oleh Dr. H. Akhmad Haries, menurut As-Sayyid Sabiq pengertian 'aul adalah adanya kelebihan saham dzawil dan adanya kekurangan kadar bagian mereka dalam pembagian harta warisan. Jika terjadi kekurangan harta, yakni ahli waris banyak dalam furudhul muqaddarah dilakukan dengan apa adanya. Sehingga untuk bisa menyelesaikannya adalah dengan bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris dikurangi dengan cara proporsional sesuai dengan besar kecilnya bagian yang diterima. Hal ini disebutkan dalam Pasal 192 KHI yang berbunyi:

Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan secara aul menurut angka pembilang.

radd : dikutip dari buku berjudul Hukum Kewarisan Islam oleh Dr. H. Akhmad Haries, menurut Hasanain Muhammad Makhluf pengertian radd adalah kebalikan dari 'aul. Yakni adanya suatu kelebihan pada kadar bagian ahli waris dan adanya kekurangan pada jumlah sahamnya. Adanya kelebihan harta, karena ahli waris ashabul furudh hanya terdapat sedikit dan penerimanya juga sedikit. Dalam masalah ini, ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa kelebihan harta waris dikembalikan pada ahli waris. Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa menginginkan agar sisa harta diserahkan pada Baitul mal. Lalu pendapat lainnya berpendapat bahwa sisa harta dikembalikan pada ahli waris, tapi khusus untuk ahli waris selain suami atau istri, yakni ahli waris nasabiyah yang mempunyai hubungan darah dengan orang yang sudah meninggal.

5. Bagaimana penyelesaian sistem penggantian tempat dalam waris?

Pasal 841 KUHPer mengatur mengenai penggantian tempat. Hal penggantian tempat diatur dalam Pasal 841 sampai dengan Pasal 848 KUHPer. Ahli waris karena  penggantian  tempat ialah ahli waris yang  merupakan keturunan yang sah, keluarga sedarah pewaris, yang  muncul   sebagai  pengganti  tempat  orang  lain,  yang seandainya  tidak meninggal dunia lebih dahulu  dari  pewaris sedianya  akan  mewaris. Dalam Pasal 852 ayat 2 KUHPer ditentukan bahwa mereka bertindak sebagai pengganti. Dalam hal ini dalam penggantian ke bawah, maka keluarga tidak mewakili ahli  waris yang  meninggal  dunia  lebih  dahulu  dari  pewaris,  tetapi menggantikan tempat ahli waris yang telah  meninggal  dunia lebih dahulu dari pewaris. Orang yang menggantikan ahli waris, dengan sendirinya memperoleh apa yang menjadi hak dan kewajiban dari orang yang digantikan tempatnya. Penggantian tempat hanya terjadi karena kematian ahli  waris yang sedianya menerima warisan yang digantikan oleh keturunan yang sah mereka. Jadi penggantian tempat  terjadi  hanya karena kematian. Penggantian tempat tidak dapat terjadi untuk mereka  yang  masih  hidup  (Pasal 847  KUHPer), dan untuk yang tidak patut untuk mewaris (Pasal 838 KUHPer). 

Pasal 841 KUHPer menentukan bahwa: Penggantian tempat memberikan hak kepada seseorang yang mengganti untuk bertindak sebagai pengganti, dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun