Jika berbicara di angka dunia, bunuh diri merupakan penyebab kematian tertinggi kedua bagi orang berusia 10-24 menurut CDC WISQARS (Web-based Injury Statistics Query and Reporting System) tahun 2018 lalu. Angka yang cukup tinggi, dan ada banyak faktor dibelakangnya. Memang, sekolah bukanlah penyebab utama dari bunuh diri remaja, tapi mereka juga merupakan salah satu faktor yang tidak bisa dilupakan begitu saja.
Lalu, adakah pihak di sekolah yang bisa menjadi salah satu tempat aman bagi siswa untuk bercerita dan juga menjadi tempat menjaga kesehatan mental mereka? Sebagai 'rumah kedua' bukankah harusnya sekolah bisa melakukan itu? Namun menurut pengamatan saya, hanya Bimbingan Konseling (BK) lah yang bertanggung jawab akan hal itu, dan jelas sekali bahwa itu belum cukup. Bahkan, jika kita (setidaknya saya dulu) sampai datang ke BK, saya dianggap murid nakal dan pembawa masalah.Â
Saya melihat kurangnya pihak yang mendukung kesehatan mental di sekolah ini sebagai pandangan bahwa kesehatan mental siswa tidak terlalu penting. Selama siswa mendapat nilai bagus, sekolah mengganggap itu sudah menentukan semua nilai dari siswa. Jikalau begitu, apa bedanya siswa dengan daging-daging yang dijual di pasar? Toh kebanyakan daging itu juga ditentukan dari nilai seperti misalnya A5 Wagyu. Kita perlu mengerti bahwa kesehatan mental siswa dipengaruhi banyak hal, dan berangkat dari hal itu, tentunya diperlukan juga dukungan dari semua pihak agar siswa tidak mengalami depresi.
Saya kira ada beberapa faktor penting yang bisa menjadi pertimbangan bagi sekolah untuk kedepannya, yaitu manajemen sekolah yang baik, guru yang akrab dengan siswa, peningkatan fisik sekolah seperti banyaknya pohon yang rindang ataupun berbagai lukisan yang indah di seputaran sekolah, sistem pendidikan yang tidak monoton dan sekolah yang tidak mengekang adalah faktor penting untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan mental siswa. Kenapa saya mengatakan demikian? Karena menurut saya, sistem pendidikan yang buruk di sekolah hanya akan membuat siswa menjadi terkekang dan menganggap bahwa sekolah itu adalah hukuman. Bukankah itu hal terakhir yang kita inginkan?
Nah, kita sebagai pelajar juga jangan serta merta menyalahkan semuanya kepada pihak lain. Jika kita mengalami depresi dan semacamnya, segeralah datang ke pihak yang tepat dan jangan pernah melakukan self diagnose, karena itu hanya akan memperburuk keadaan yang ada. Jangan juga menjadikan depresi sebagai sebuah tren atau perlombaan untuk ajang panjat sosial, karena itu sama saja mengambil atensi atau perhatian dari pihak yang benar-benar membutuhkan.Â
Saya mohon sekali bagi anda manusia-manusia luar biasa yang membaca ini, berhentilah melakukan hal itu jika anda sering melakukannya, dan bagi anda sekalian yang sedang berjuang melawan kegelapan dalam hidup anda, terima kasih karena anda sudah bertahan sejauh ini. Saya tidak akan berkata bahwa semua perjuangan anda akan terbayar, karena saya bukan Tuhan yang bisa memberikan kepastian kepada anda. Tapi, ingatlah bahwa jikalau yang berjuang saja masih bisa gagal, apalagi yang tidak berusaha sama sekali. Ingatlah bahwa hidup anda itu berharga.
      Â
Referensi:
Yahyaei, D, dkk
2012 The School Role in Lively Education and Student' Mental Health. Procedia: Social and Behavioral Science 47: 1408-1412
Putra, I., Karin, P., & Ariastuti, N. (2019). Suicidal ideation and suicide attempt among Indonesian adolescent students. International journal of adolescent medicine and health, /j/ijamh.ahead-of-print/ijamh-2019-0035/ijamh-2019-0035.xml. Advance online publication. https://doi.org/10.1515/ijamh-2019-0035
