Pada dasarnya semua orang di wilayah hukum pasti bisa jadi objek hukum, entah itu karena melakukan kesalahan ataupun dipaksakan seolah-olah melanggar hukum. Namanya juga manusia pasti tidak lepas dari kesalahan, Namun dalam mata hukum seharusnya setiap kesalahan hukum, selain mengacu undang-undang juga harus mengacu kepada nurani dan motif seseorang melakukan kesalahan tersebut.
Baru-baru ini ada berita mengenai seorang pemilik warnet yang disidangkan karena memiliki aplikasi ilegal dalam komputer di warnet tersebut. Sekarang bayangkan mungkin hampir semua pengguna internet pernah mendownload konten ilegal, minimal mp3 lah. Didalam hukum hak cipta menggunggah sebuah file dengan melanggar kekayaan intelektual yang terkandung dalam file tersebut merupakan pelanggaran hukum. Jadi, semua orang bisa saja dijadikan objek pelanggar hukum. Lalu mengapa mesti orang-orang tertentu yang menjadi objek tersebut?. Pantaskah kita sebut “sial” adalah alasan yang cocok untuk menjawab pertanyaan tersebut?.
Kita ambil contoh yang lebih besar yaitu kasus IM2. Beberapa hari yang lalu kita digegerkan karena berita internet Indonesia terancam mati total. Hal ini dikarenakan pihak ISP takut akan menjadi objek hukum berikutnya setelah Indar Atmanto, mantan Dirut Indosat Mega Media (IM2) dinyatakan melanggakar hukum dikarenakan kasus tuduhan korupsi pengadaan jaringan 2,1 GHz/3G PT Indosat dan divonis 8 tahun penjara.Kekuatiran para penyelenggara ISP ini sangat beralasan. Mereka menilai, apa yang telah dilakukan Indar sudah sesuai dengan peraturan dan telah dianggap benar oleh regulator telekomunikasi seperti Kementerian Kominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Namun nyatanya, Indar tetap masuk penjara.Padahal hampir sebagian besar ISP menggunakan skema bisnis yang sama seperti IM2 dan Indosat.
Contoh kasus yang sedang berjalan saat ini adalah kasus LTE Belawan. Pihak kejaksaan menyatakan PLN dan Mapna melakukan tindak pidana korupsi dan merugikan keuangan negara. Adapun kerugian negara tersebut berasal dari hasil audit BPKP. Namun anehnya justru BPKP sendiri tidak memiliki hak untuk melakukan audit perusahaan BUMN. Hal ini menjadikan hasil audit tersebut justru tidak sesuai standar audit yang menyatakan terdapat kerugian negara.
Mantan Deputi Kepala Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Pengawasan Pengeluaran Pusat dan Daerah Dani Sudarsono menegaskan, BPKP tidak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menghitung kerugian negara. Hal ini senada dengan keterangan kuasa hukum PLN, Todung Mulya Lubis. Ia menyatakan BPKP memang bisa melakukan audit, tapi by law, BPKP tidak bisa melakukan audit terhadap lembaga-lembaga di luar pemerintahan.Hal itu sesuai dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Sementara itu Ahli Hukum korporasi Dr Gunawan Widjaja juga menyatakan, dalam perkara LTE PLN, tidak ada kerugian negara yang muncul. Sebab, anggaran yang digunakan adalah Anggaran internal PLN. Merujuk pada UU No.19 Tahun 2003 (UU BUMN), UU No.17 Tahun 2003 (UU KN) tentang Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah (PP) No.12 Tahun 1998, serta Putusan MK Nomor 77/PUU-X/2011, sudah sangat jelas bahwa yang menjadi Keuangan Negara dalam Perusahaan Perseroan adalah saham milik Negara di Persero.Ia menjelaskan bahwa kerugian Negara di Persero berarti hilangnya saham milik Negara pada Persero. Sementara harta kekayaan Persero bukanlah Keuangan Negara. Dengan berkurangnya kekayaan Persero tidak menyebabkan berkurangnya saham Negara, sehingga dalam perkara PLN tidak ada kerugian negara yang muncul.
Ditambah lagi ternyata tindakan pihak PLN ini justru lebih banyak menghasilkan keuntungan di bandingkan kerugian yang dituduhkan. Baik itu keuntungan bagi negara, masyarakat, dan PLN sendiri.Berkali-kali hukum di negara kita direkayasa untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Ujung-ujungnya saya memprediksi kreatifitas ataupun inisiatif untuk lebih maju bisa terhambat. Bisa dibilang apabila anda ingin berinisiatif untuk lebih baik namun disinyalir ada pelanggaran hukum oleh pihak yang tidak setuju/senang atas inisiatif tersebut.
Dalam contoh 3 kasus diatas bayangkan :
1. Tidak ada pengusaha warnet yang mau membuka lapangan pekerjaan lagi karena kebutuhan atas software penunjang yang berlisensi/original sangat mahal harganya, lalu apabila memaksakan menggunakan aplikasi cracked akan menjadi target hukum berikutnya.
2. Para ISP tidak mau lagi beroperasi atau mengambil resiko dikarenakan bisa saja suatu saat menjadi Indar Atmanto berikutnya.
3. Para teknisi PLN/BUMN menjadi takut untuk berinisiatif lebih maju dikarenakan banyak pihak yang merasa dirugikan apabila kemajuan itu terjadi dan mengkriminalisasi lagi hal tersebut.
Apakah saya salah apabila berpikir ada “titipan” dari oknum-oknum yang berniat mengambil keuntungan atas kasus ini?.Lantas motif mereka apa?.Logika dangkal saya berasumsi bahwa bisa saja ada persaingan bisnis yang menjadi semakin tidak sehat dan permainan politik yang semakin kejam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H