4 Desember, 2016. Edgar Maddison Welch, 28 tahun, ayah dua anak, mengemudikan mobilnya selama enam jam dari rumahnya di Salisbury, North Carolina, ke restoran pizza Comet Ping Pong, yang terletak di Washington DC. Sampai di sana, dia segera mengeluarkan senapan serbu AR-15 dari bagasi dan menyerbu restoran tersebut. Pria berusia 28 tahun itu bukan kecanduan pizza atau ingin mencuri resep mereka. Dia hanya terhasut teori konspirasi yang menuduh restoran itu dipakai perkumpulan pemuja setan untuk menyekap anak-anak, dan ingin memberikan pertolongan.
15 Februari 2021. Anthony Q Warner, seorang progammer, meledakkan mobil RV-nya - berikut dirinya sendiri - di depan instalasi milik perusahaan telekomunikasi AT&T di Nashville. Selain membuat koneksi telepon dan internet lumpuh selama dua hari, ledakan itu juga menimbulkan kerusakan di 50 bangunan, dan merobohkan beberapa di antaranya. Tentu saja pria berusia 63 tahun itu tidak melakukannya karena jengkel akibat koneksi internet yang lemot. Dari penyelidikan FBI, pria yang dikenal loner ini ternyata terobsesi dengan teori konspirasi tentang invasi alien ke bumi. Dia meyakini semua pemimpin dunia setelah tahun 2011 sebenarnya adalah 'kadal antariksa' yang menyaru sebagai manusia.
Yang paling spektakular dari semua tentu saja penyerbuan Gedung Capitol tanggal 6 Januari 2021 kemarin. Ribuan massa pelakunya ternyata teracuni berbagai teori konspirasi tentang kecurangan pemilu, dan banyak di antara mereka juga anggota Q-Anon. Ini adalah komunitas penganut teori konspirasi yang pada intinya mempercayai bahwa Donald Trump adalah semacam 'satria piningit' yang berjuang secara rahasia untuk menghancurkan 'cabal' alias persekutuan jahat para pemuja setan, pedofili, dan kanibal - yang didominasi elit partai Demokrat.
Dari berbagai penelitian, jumlah warga AS yang mempercayai teori konspirasi memang cukup mengkhawatirkan. Beberapa penelitian dan jajak pendapat, seperti dari Pew Research Center dan Allensbach Institute menyebut angka sekitar dua puluh sampai dua puluh lima persen. Sementara menurut Universitas Chicago angkanya lebih besar lagi. Lima puluh persen diduga mempercayai minimal satu teori konspirasi. Dan sampai detik ini, para penganut teori ini masih jadi masalah di AS. Apalagi dalam situasi pandemi seperti sekarang. Beberapa di antara mereka tidak segan-segan melakukan tindakan yang tidak kalah ekstrem.
Steven Braderburg, pegawai Aurora Medical Center di Wisconsin, menghancurkan 500 dosis vaksin covid-19 karena dia yakini akan mengubah DNA manusia. Hayden Brown, pria berusia 53 tahun, melumurkan lem super pada gembok pusat vaksinasi di Norfolk untuk mencegah pelaksanaan vaksinasi massal. Kevin Cadden, seorang kepala sekolah di El Dorado Hills, mendapat teror dari massa anti-masker di rumahnya sendiri. Sementara seorang guru di California bahkan sampai masuk rumah sakit karena dipukuli orang tua murid yang menolak kewajiban murid memakai masker di sekolah. Tahun 2020 kemarin dilaporkan ada 300 kasus penyerangan terhadap warga Amerika keturunan Asia yang dipicu teori konspirasi yang menuduh mereka sebagai penyebar covid.
Kenapa Amerika Serikat, yang notabene negara maju, masih banyak warganya yang terpengaruh isu-isu yang berlebihan seperti teori konspirasi? Eric Oliver, seorang profesor ilmu politik dari Universitas Chicago, mengatakan situasi sekarang memang kondusif bagi tersebarnya teori semacam itu. Menurutnya, teori tersebut biasa berkembang saat terjadi krisis. Dan selama lima tahun ini Amerika memang terbakar konflik ideologi melebihi masa-masa sebelumnya, diperparah dengan pandemi yang tiba-tiba melanda. Dalam kegelisahan seperti ini, masyarakat akan mudah mempercayai teori konspirasi sebagai jalan pintas memperoleh equilibrium atau ketenangan batin.
Tapi mengapa jalan pintasnya adalah teori konspirasi? Karena teori ini, seperti umumnya disinformasi, menawarkan penjelasan yang sangat sederhana dan mudah dimengerti tentang penyebab sebuah krisis, bahkan untuk orang yang tidak berpendidikan sekalipun. "Penjelasan seperti itu dirasakan lebih mengembalikan orientasi dan kendali pikiran bagi kebanyakan orang awam," kata Sander van der Linden, ahli psikologi sosial dari Universitas Cambridge.
Sementara Karen Douglas, juga seorang profesor psikologi sosial dari Universitas Kent, juga menyoroti media sosial yang berpengaruh dalam meningkatkan fanatisme para penganut teori konspirasi. Pertama, platform ini memungkinkan mereka hanya memilih informasi yang pro dengan teori konspirasi, dengan mengabaikan yang kontra. Kedua, memungkinkan terjadinya interaksi yang intens dan terus-menerus dengan sesama komunitas penganut. Kedua hal ini berperan penting secara psikologis untuk mendorong mereka menjadi lebih radikal.
Di luar analisa tersebut, ada juga faktor yang mungkin agak langka ditemukan di negara lain. Pertama, dukungan dari para elit dan media tertentu yang merasa diuntungkan dengan teori konspirasi tersebut. Misalnya yang ditunjukkan mantan presiden Trump. Sebelum dan semasa kepresidenannya, dia dikenal memberi angin pada berbagai teori konspirasi. Dari mulai soal kelahiran Obama, keberadaan 'cabal' dan 'deep state', maupun isu-isu terkait pandemi. Semua itu dipakainya untuk menyerang lawan politik maupun mempertahankan elektabilitas. Dan cara itu terbukti cukup efektif. Terbukti dengan kemenangannya di pilpres 2016, maupun perolehan suaranya yang tetap tinggi di pilpres 2020 - walau tetap kalah dari Joe Biden.
Dan keberhasilan Trump ini rupanya menginspirasi tokoh politik lain maupun media arus utama yang seideologi untuk bersikap serupa. Seperti Marjorie Taylor Greene, yang dikenal sebagai pendukung Q-Anon, ternyata malah terpilih jadi anggota Kongres AS. Sementara saluran televisi konservatif Fox News yang acap kali membawa narasi-narasi kontroversial berbau konspiratif, malah memiliki rating yang tinggi. Hal ini menyebabkan Republikan yang menolak teori konspirasi jadi tidak berani terang-terangan menyuarakan pendapat mereka, karena partai ini memang mengandalkan suara dari warga berideologi konservatif yang belakangan memang lebih banyak terpapar teori konspirasi.
Kedua, adanya faktor sosial-budaya di Amerika Serikat sendiri yang memiliki sejarah kerentanan terhadap pengaruh disinformasi di luar mainstream - yang bahkan tidak rasional sekalipun. Negara ini seperti memiliki 'tradisi' untuk melahirkan perseorangan atau kelompok yang aktif maupun asertif terhadap narasi-narasi pseudoscience - seolah-olah ilmiah - atau bahkan supernatural. Kalau kita perhatikan, budaya yang demikian ini sudah berkembang bahkan ketika teknologi komunikasi dan informasi belum secanggih sekarang.
Dari tahun lima-puluhan sampai sembilan-puluhan, berbagai macam ragam teori 'fringe' (teori di luar mainstream) menjadi sesuatu yang populer di sebagian masyarakatnya. Dari yang menyebutkan musik rock sebagai konspirasi pihak Rusia atau bahkan iblis sendiri, penyusupan makhluk angkasa luar - atau kerjasama mereka dengan pemerintah AS, sampai keberadaan perkumpulan rahasia yang melibatkan kelompok atau organisasi tertentu seperti yahudi, iluminati, freemason, cabal, deep-state dan lain sebagainya.
Sejarah Amerika juga sering mencatat hadirnya 'demagog'. Satu istilah yang sekarang sering dilekatkan pada Trump. Istilah ini merujuk tokoh kharismatik yang menyebarkan paham yang irasional, tapi berhasil menjaring banyak pengikut. Seperti Jim Jones yang mengaku 'nabi' pada tahun 1972 berhasil mengajak sembilan ratus sembilan orang pengikutnya untuk melakukan bunuh diri massal. Sementara di tahun 1993 ada tokoh lain bernama Marshall Applewhite, yang mengaku sebagai utusan makhluk angkasa luar, juga berhasil mengajak tiga puluh sembilan pengikutnya untuk melakukan hal yang sama. Ada pula Charles Manson, yang pada akhir tahun 60-an mengaku dibimbing pesan rahasia dalam lagu-lagu The Beatles, malah mampu mengajak pengikutnya untuk melakukan serangkaian pembunuhan.
Amerika juga 'produktif' menghasilkan penulis dan penggemar buku-buku yang bertendensi hoaks. Seperti Erich Von Daniken yang lewat bukunya The Golds of The Gods (1972) mengaku menemukan peninggalan jaman lampau yang membuktikan manusia adalah ciptaan alien. Atau George Adamsky yang lewat bukunya Flying Saucers Have Landed (1953) mengaku sebagai utusan alien dari planet Venus. Termasuk juga Milton William Cooper, penulis buku Behold The Pale Horses (1991) yang dianggap buku induk dari berbagai teori konspirasi. Meski sudah banyak bukti bahwa buku-buku itu cuma 'ngarang bebas' (bahkan Erich Von Daniken mengakui bukunya itu isapan jempol), tapi sampai sekarang masih banyak komunitas di sana yang meyakini semua itu benar adanya.
Dengan sejarah yang demikian, kita bisa melihat bahwa hoax, disinformasi, dan berbagai pemikiran yang menentang nalar maupun sains memang memiliki ruang gerak dalam budaya Amerika. Perlu disadari, seperti di negara manapun, tidak semua warga AS memiliki derajat literasi dan wawasan yang dibutuhkan untuk menangkal propaganda seperti itu. Ditambah akses informasi (maupun disinformasi) yang makin penetratif, semakin banyaknya warga yang terpengaruh adalah sebuah keniscayaan.
........
Referensi: forbes, washington post, npr nbcnews, reuters, politico, guardian, dan buku-buku koleksi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H