Ada malam-malam tertentu di mana saya biasa ketawa sendirian. Sepanjang malam. Biasanya mulai menjelang tengah malam dan berlanjut sampai pukul lima pagi. Oh, jangan khawatir. Artikel ini tidak bermaksud membicarakan saat-saat saya sering kesurupan. Kebetulan saja masih banyak radio swasta di kampung halaman saya yang memutar rekaman-rekaman pertunjukan ringgit wacucal alias wayang kulit semalam suntuk. Baik dari era kekinian maupun dari jaman kekunoan.
Memang apa hubungannya wayang kulit dengan bikin ketawa? Kalau sekarang hubungannya erat sekali. Malah bisa dibilang itulah yang dicari penonton wayang jaman sekarang. Dalang populer biasanya yang mampu membuat penonton ger-geran. Tengok saja Ki Manteb Sudarsono, Ki Anom Suroto, Ki Enthus Sasmono, Ki Warseno Slenk, sampai Ki Seno Nugroho. Tidak ada di antara mereka yang ogah berhumor-ria dalam pagelaran. Padahal konon katanya dulu tidak demikian. Terus terang saya sendiri tidak tahu persis apa memang demikian. Sampai sekarang saya gagal menemukan rekaman wayang kulit dari jaman nyonya meneer belum memecahkan rekor berdiri.
Kalau menurut cerita almarhum Bapak (kebetulan beliau guru bahasa dan kesenian Jawa), wayang kulit jaman dulu itu memang serius. Adegan-adegan sidang di keraton, dialog antar tokoh wayang, dulu formal dan kaku. Kalau pun ada waktu buat have fun go mad, itu hanya waktu lepas tengah malam, saat dalangnya bikin gara-gara. Bukaaan! Bukan dalangnya mengajak penonton berkelahi. Gara-gara, atau dibaca goro-goro, adalah segmen khusus komedi saat pagelaran wayang kulit. Jadi mirip drama Henry IV karya Shakespeare, yang menyelipkan segmen komedi lewat tokoh-tokoh lucu seperti Falstaff, Poins, dan Pistol. Kalau di goro-goro, tokoh lucunya adalah Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong).
Masih menurut Bapak, dalang di balik penyusupan humor di seluruh adegan wayang kulit adalah almarhum Ki Narto Sabdo, dalang dan seniman kesenian Jawa yang legendaris. Saya cenderung mempercayai pendapat Bapak itu. Bukan saja karena beberapa referensi memang menyatakan demikian. Dari pengalaman bertahun-tahun mendengarkan wayang kulit di radio, saya merasa versi Ki Narto Sabdo inilah yang paling lucu. Padahal beliau itu juga dalang paling senior yang pernah saya dengar. Sekali lagi, sayangnya saya belum pernah mendengarkan wayang kulit dari para senior beliau. Apa benar berbeda, dan apa benar bedanya bagai Cinderella dengan Cindelaras.
Yang jelas kalau kita lihat latar belakang dalang yang bernama asli Soenarto ini, mungkin wajar kalau beliau cenderung tampil beda. Dalang itu tradisinya turun-temurun. Sementara beliau 'hanya' putra seorang pengrajin wadah keris. Meski demikian, bakat seniman kelahiran tahun 1925 ini memang luar biasa. Selain mendalang, beliau juga pandai bermain biola, menabuh gendang dan menggubah gending. Bahkan banyak gending-gending karya Ki Narto yang jadi klasik. Seperti Sarung Jagung, Perahu Layar, dan Gambang Suling. Ki Narto sendiri meninggal tahun 1985, beberapa saat setelah menggubah gending berjudul 'lelayu' yang artinya 'kematian'.
Buat saya, mendengarkan Ki Narto Sabdo mendalang itu rasanya seperti menonton film-film Marvel sejak Iron-Man dan sebelum Black Widow. Fun dan funny. Seperti sutradara Taika Waititi yang merombak karakter Thor dari bangsawan bangsa menjadi bangsawan sawan, Ki Narto membesut karakter wayang yang 'honoris' menjadi lebih 'humanis' dan bahkan 'humoris'. Misalkan tokoh Raden Dursasana yang aslinya sesangar Thanos menjadi sekocak Loki. Bahkan saat nyandra (bersajak) tentang tokoh Kurawa tersebut, beliau menggambarkannya 'suka mengkoleksi gelang karet, mengenakan kacamata sebelah merah sebelah biru, dan kalau jalan-jalan suka dikuntit anak-anak kecil'.
Adegan sidang di keraton oleh Ki Narto Sabdo pun serasa seperti sidang ala Game of Throne, tapi dihadiri anggota Guardian of Galaxy. Raden Dursasana selalu cengengesan dan suka meledek peserta sidang, Begawan Kumbayana ceriwis dan histeris seperti emak-emak, Citraksi gagap tapi selalu bertekad menyelesaikan kalimatnya, Citraksa suka berbahasa sansekerta yang ngawur, Durmagati menentang sekaligus mendukung semua pendapat, dan Patih Sengkuni mengingatkan saya pada seorang bapak yang terkenal pintar tapi sinis. Jadi bisa dibayangkan seperti apa sidangnya kalau pesertanya begini.
Tentu saja tidak cuma di ruang sidang. Prabu Kurupati, sang big-bad-brother, bahkan tetap ditampilkan berwibawa di ruang sidang. Tapi humornya muncul ketika dia sedang bersama Kanjeng  Ratu Banowati, sang istri. Setiap kali sang istri memberi saran untuk minta bantuan Arjuna, Sang Prabu selalu menyahut dengan "mblmblmblmbl" begitu. Menggerundel tidak jelas. Kenapa? Karena dia cemburu tapi tak berani marah pada istrinya. Humor juga muncul saat Ki Narto nyandra tentang pasangan ini. Ada bagian yang kurang lebih artinya, 'Saat di meja makan, Sang Prabu selalu minta tambah. Saat di kamar tidur, Sang Prabu selalu....minta tambah juga!!'
Karakter-karakter protagonis juga tak terlalu diotak-atik. Misalkan Raden Permadi tetap digambarkan santun dan halus tutur katanya. Tapi penonton tetap akan ketawa saat kesantunan dan kehalusan itu justru seperti modus saat Sang Raden bicara dengan putri-putri cantik. Demikian juga dengan Raden Werkudara. Tokoh ini juga tetap ditampilkan seperti pakem wayang sebelumnya. Sangar, gahar, tidak bisa menyembah, tidak bisa tersenyum, tidak bisa bercanda, dan selalu menggeram 'grrrrrrr' sebelum bicara. Lha terus humornya darimana dong? Yang paling saya ingat seperti ini : suatu saat Raden Werkudara mengambil uangnya Petruk untuk keperluan darurat. Ketika sadar, Petruk pun meminta ganti. Tapi dengan suara yang berat, serius, dan angker, Sang Raden menjawab, "Grrrrrrr....utang dulu!"
Demikian pula humor-humor di segmen goro-goro. Tak cuma menggelitik, tapi juga menyentil ini-itu. Termasuk korupsi. Misalnya, saat Raden Puntadewa memberi sejumlah uang pada Semar buat dibagi rata dengan anak-anaknya. Katakan saja, dengan kurs sekarang, jumlahnya sejuta. Tapi ternyata Semar berbohong pada Gareng, "Reng, ini Bapak cuma dikasih duit empat ratus ribu. Tolong yang tiga ratus dibagi sama adik-adikmu ya." Lalu Gareng pun bohong pada Petruk, "Truk, aku cuma dikasih duit tujuh puluh lima ribu, tolong yang lima puluh ribu dibagi sama Bagong ya." Tentu saja Petruk juga bohong pada Gagong, "Gong, aku cuma dikasih dua ribu. Yang seribu buat kamu yaa." Bagong pun cuma bisa melongo.
Oiya, bagaimana tanggapan para senior melihat keberhasilan sang junior meraih banyak 'viewers' dan 'listeners' ini? Pasti semua angkat topi, bukan? Yak, salah. Dari apa yang saya baca, tak sedikit dalang senior yang justru mengkritik dan memojokkan beliau. Dianggap terlalu menyimpang dari pakem. Antara lain karena berani menampilkan humor dalam adegan di Keraton. Nah! Informasi seperti ini membuat saya semakin yakin bahwa memang beliau yang bertanggung-jawab atas kram perut yang saya derita akibat keseringan ketawa saat mendengarkan wayang kulit.
Jadi saya kira pelajaran moral dari beliau ini sudah jelas. Kalau kita dicibir atau dipojokkan senior yang menganggap artikel....eh, karya kita itu begini-begitu, acuhkan saja. Karena biasanya semesta malah mendukung kita....huehehehehe
.....
Referensi: Center of Excellence/Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY, dan rekaman-rekaman wayang kulit karya Ki Narto Sabdo dan dalang lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H