Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gajah Mada Yudha

22 Juli 2021   10:51 Diperbarui: 7 Agustus 2021   09:38 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gajah Mada tak punya pilihan. Dia bertahan segigih mungkin. Menolak untuk mundur lagi. Tapi ternyata itu membuat si raksasa jadi lebih ganas. Dia menyerang lebih kalap. Pedang mereka sampai-sampai memercikkan bunga api - saking kerasnya berbenturan. Hingga akhirnya terjadi sesuatu pada benturan terakhir.

Pedang si raksasa akhirnya patah jadi dua. Tepat di tengah-tengah. Gajah Mada pun menyeringai. Sekarang dia di atas angin, begitu sangkanya. Tapi ketika hendak menyerang kembali, bilah pedangnya malah terpisah dari gagang. Jatuh terbelah tiga. Ternyata nasibnya sama saja!

Gajah Mada serta-merta berusaha mencabut salah satu keris di pinggang. Tapi sayang kurang cepat. Si raksasa keburu menerkam dengan tangan kosong, dan berhasil mencekik lehernya. Karuan, Gajah Mada berusaha membebaskan diri. Tapi rasanya seperti dijepit batu karang. Susah sekali dilepas.

Gajah Mada sadar tak bisa melawannya dengan tangan kosong. Dia pun kembali berusaha mencabut kerisnya. Ketika akhirnya berhasil, cepat-cepat ditancapkan ke dada musuhnya. Di luar dugaan, otot-otot dada raksasa itu ternyata tebal dan liat. Kerisnya hanya menancap setengah jalan. Gagal menembus jantung. Padahal saat itu Gajah Mada sudah kehabisan nafas.

Ketika akan tewas, seseorang konon akan melihat seluruh hidupnya. Itulah yang terjadi pada Gajah Mada. Ingatannya berkelebat-kelebat, sampai pada titik yang paling nadir - saat diusir Hayam Wuruk karena menewaskan calon permaisurinya, meski tanpa sengaja. Itulah sebabnya dia kehilangan jabatan Mahapatih.

Saat itulah Gajah Mada sadar. Bahwa dia belum sempat minta maaf pada Hayam Wuruk. Dia juga belum berterus-terang bahwa dialah ayah kandungnya. Kesadaran itu membuat pikirannya meronta. Tidak! Dia tidak boleh mati sekarang! Dia harus tetap hidup dan mengatakan semuanya!

Seolah dirasuki kekuatan baru, Gajah Mada menggeliat lagi. Tangannya yang semula lemah mendadak kencang. Mencengkeram pergelangan si raksasa. Dan, perlahan, berhasil melepas cekikannya. Tapi sang musuh juga menolak menyerah. Keduanya sama-sama mengerahkan tenaga. Beradu tekad untuk membunuh atau dibunuh.

Namun akhirnya bukan otot yang menentukan. Gajah Mada memutuskan memakai kepalanya - secara harafiah. Dibenturkan ke hidung lawan. Terdengar suara berderak ketika tulang hidung musuhnya patah. Darah pun mengalir kedua lubangnya. Si raksasa terhuyung-huyung mundur. Pertahanannya pun terbuka. Dan Gajah Mada pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Ditendangnya keris yang menancap di dada musuhnya. Senjata tajam itu pun akhirnya menembus ke jantung.

Si raksasa terdorong ke belakang, tapi tidak sampai roboh. Punggungnya membentur tembok batu yang menahan keseimbangannya. Hebatnya, dia masih bersikeras menyerang lagi. Tiga langkah maju berhasil diambil, sebelum tubuhnya mendadak terguling roboh. Tak bergerak lagi buat selamanya.

Plok! Plok! Plok! Plok!

Terdengar bunyi tepuk tangan yang dibunyikan lambat-lambat - seperti berniat mengejek. Gajah Mada berpaling ke arah sumbernya. Dilihatnya seorang paruh baya berpakaian prajurit Majapahit, ditemani dua pengawal membawa obor penerangan. Gajah Mada merasakan amarahnya berdesir. Dia mengenali orang itu sebagai Senopati Angkrang, dalang di balik aksi penculikan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun