Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi Buruk Hayam Wuruk

24 Juni 2021   10:49 Diperbarui: 6 Juli 2021   20:27 1027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senopati Angkrang buru-buru menghentikan rombongan prajurit berkuda yang dipimpinnya. Dia tatap hutan yang membentang di hadapan mereka. Sorot matanya menyelidik. Seperti was-was.

"Ada apa, Paman?" tanya lelaki muda yang berkuda di sebelahnya. Meski mengenakan pakaian jelata seperti lainnya, tetap terlihat adanya wibawa yang menonjol. Mengesankan dirinya bukanlah pemuda sembarangan.

Sang Senopati ragu sejenak sebelum menjawab, "Mungkin hamba saja yang terlalu khawatir, Gusti Prabu. Tapi seperti ada yang berteriak di batin hamba saat melihat hutan ini, menyuruh hamba berhati-hati."

Pemuda tersebut ikut memperhatikan hutan di depan mereka. Itu hutan biasa. Tidak terlalu lebat, bisa dilewati dengan mudah. Memang ada kabut yang bergulung menyelubungi. Namun itu wajar di daerah perbukitan seperti ini. Seharusnya tak ada alasan merasa cemas.

Tapi di pihak lain, Senopati Angkrang adalah prajurit berpengalaman. Nyaris separuh hidupnya ditempa di medan perang. Nalurinya terasah dengan baik. Itulah alasan dia dipilih sebagai panglima pasukan pengawal raja - yang dikenal sebagai pasukan Bhayangkara.

Lelaki muda itu menengadah, memandang matahari yang masih setengah jalan, lalu kembali bertanya, "Menurut paman, apa yang sebaiknya kita lakukan?"

"Hamba minta izin mengirim sepertiga prajurit untuk memeriksa hutan itu sebelum melanjutkan perjalanan," ujar Senopati Angkrang. "Sementara sisanya akan membentuk barisan pertahanan."

Lelaki muda itu segera memberikan persetujuan. Dan seratus prajurit Bhayangkara bergerak dengan sigap. Tiga puluh di antaranya memacu kuda mereka ke dalam hutan. Sisanya membentuk lingkaran mengelilingi si lelaki muda. Semua sadar keselamatannya lebih penting dari nyawa mereka.

Karena lelaki muda itu adalah Prabu Hayam Wuruk, Sang Maharaja kerajaan Majapahit.

Setelah pengakuan ibundanya, Tunggadewi, bahwa Gajah Mada adalah ayah kandungnya, Hayam Wuruk mengerahkan telik sandi mencari keberadaan mantan Mahapatih itu. Bukan semata karena ingin berbicara dengannya, tapi juga demi ibunda - yang jatuh sakit setelah kepergian Gajah Mada.

Setelah berbulan-bulan pencarian, akhirnya didapat kabar keberadaan Gajah Mada di sekitar wilayah Blambangan. Hayam Wuruk segera mengirim utusan ke sana. Di luar dugaan, Gajah Mada menolak datang. Dia ingin Hayam Wuruk sendiri yang menemuinya.

Tentu saja para penasehat istana menganggap itu berbahaya. Tapi akhirnya disepakati jalan tengah. Hayam Wuruk berangkat dengan dikawal prajurit Bhayangkara terbaik. Mereka akan bergerak menghindari keramaian, dengan menyamar sebagai pengembara biasa.

"Maafkan ketidak-nyamanan ini, Gusti," kata Senopati Angkrang setelah memeriksa kesiagaan prajuritnya. "Tapi hamba adalah saksi hidup saat petaka menimpa keraton Majapahit. Petaka yang terjadi karena kurangnya kewaspadaan. Hamba tak ingin itu terjadi lagi."

Hayam Wuruk mengangguk. Dia mengerti maksud Senopati Angkrang, yang merujuk pada pemberontakan Ra Kuti. Sebuah pemberontakan yang sangat licin. Tak ada yang mencurigai Ra Kuti, karena dia juga pengawal mendiang Maharaja Jayanegara. Kedudukan yang diperoleh setelah bertahun-tahun menunjukkan kesetiaan.

Tak sampai di situ saja. Meski akhirnya gagal merebut tahta, namun Ra Kuti berhasil membunuh Jayanegara. Dengan cara yang tak kalah licin. Dia menjadikan dirinya sebagai pengalih perhatian, sementara sekutunya yang bernama Ra Tanca berhasil mendekati Maharaja dan membunuhnya.

"Ya, kita beruntung biang petaka itu bisa dibunuh paman Gajah Mada," kata Hayam Wuruk, menyembunyikan fakta bahwa Gajah Mada adalah ayahnya. "Dan aku beruntung memiliki Senopati sepertimu, Paman Angkrang. Kesetiaanmu pada tahta mungkin hanya bisa ditandingi paman Gajah Mada."

Sebenarnya Hayam Wuruk merasa kasihan. Senopati Angkrang sudah hampir setua Gajah Mada. Seharusnya sudah jadi Mahapatih jika Gajah Mada tidak terlalu besar pengaruhnya. Bahkan saat Hayam Wuruk memintanya menduduki jabatan itu sepeninggal Gajah Mada, dia menolak. Alasannya tetap ingin mengabdi sebagai pengawal.

Senopati membalas pujian itu dengan senyuman tulus dan anggukan hormat. "Sejak kecil hamba bercita-cita jadi prajurit. Sekarang, saat Dewata sudah mengabulkannya, tak ada lagi yang hamba inginkan selain mengabdi selamanya."

Saat itulah tiba-tiba terdengar jeritan mengerikan. Datangnya dari dalam hutan. Tak hanya sekali. Berulang-kali terdengar jeritan yang hampir sama. Seperti ada sekumpulan orang yang dibunuh secara keji.

"Itu suara prajurit hamba!" seru Senopati Angkrang kaget. Tapi hanya sebentar. Dengan sigap, dia mencabut pedang dan menyerukan perintah. Separuh pasukan Bhayangkara disuruh menyusul ke hutan. Sisanya diperintahkan merapat ke sekeliling Hayam Wuruk. "Jangan biarkan satu lalat pun mendekati Gusti Prabu!"

Hayam Wuruk tak kalah kaget. Dia paham perjalanan seperti ini bisa berbahaya, tapi tak mengira bahaya itu akan sungguh-sungguh terjadi. Tanpa sadar tangannya meraih gagang keris di ikat pinggangnya. Berharap prana pusaka itu benar-benar bisa diandalkan.

Sambil menahan nafas, penguasa Majapahit itu memperhatikan pasukannya yang menembus kabut dalam hutan. Sesaat tak terdengar apapun lagi. Hanya kesunyian mencekam. Lalu tiba-tiba pasukannya kembali. Kuda-kuda mereka berderap keluar hutan, tapi semua pengendaranya lunglai di pelana. Tanpa nyawa!

Bahkan sebelum Hayam Wuruk sempat memperlihatkan emosinya, kejutan berikutnya sudah menyusul. Sesuatu menyerupai awan gelap melesat dari hutan. Menggegana ke langit lalu menukik ke arah prajurit Bhayangkara yang tersisa. Hayam Wuruk terbelalak saat menyadari apa itu sebenarnya.

Ribuan anak panah!

Hayam Wuruk pasti sudah tewas jika bukan karena Senopati Angkrang. Dia melompat dari kuda dan mendorong Hayam Wuruk ke balik sebuah pohon tumbang. Batangnya yang besar melindungi mereka. Tapi prajurit lainnya tak seberuntung itu. Ribuan anak panah menghujani tanpa ampun. Tak menyisakan satu pun yang hidup.

Hayam Wuruk seperti bermimpi buruk. Beberapa saat lalu dirinya masih aman bersama seratus prajurit. Tahu-tahu mereka semua sudah tewas. Ini jelas sebuah jebakan yang dijalankan dengan sangat licin. Dan hanya satu orang yang bisa melakukannya....

"Gusti Prabu," kata Senopati Angkrang dengan nada getir. "Sepertinya kekhawatiran hamba terbukti, tapi tetap saja gagal mencegahnya. Hamba bersedia dihukum mati setelah ini. Tapi sebelumnya...."

"Sudahlah," potong Hayam Wuruk dengan tegas. "Paman Angkrang tidak gagal. Justru sebaliknya. Paman benar-benar belajar dari pemberontakan Ra Kuti. Tapi belajar di sini punya pengertian ganda. Bukan begitu, Paman?"

Untuk sesaat, wajah Senopati Angkrang nampak terkesima. Tapi, secepat kilat, seutas senyum tersungging di sana. "Gusti Prabu lebih cerdas dari dugaan hamba. Ya, hamba memang belajar dari pemberontakan Ra Kuti. Bukan untuk mencegah, melainkan menirunya. Bagaimana Gusti bisa tahu?"

Hayam Wuruk tak segera menjawab. Dengan tenang, dia keluar dari tempat perlindungan mereka, memandang sayu pada jazad para prajurit yang berserak di antara bangkai-bangkai kuda. "Aku mungkin belia, tapi tidak bodoh. Penyergapan ini terlalu berhasil. Dan jika diperhatikan baik-baik, kaulah yang membuatnya demikian."

Pandangannya berubah dingin ketika beralih pada sang Senopati. "Kau sengaja memecah pasukan, agar mudah dikalahkan anak buahmu di hutan sana. Sepertiga kuduga diserang dengan semacam perangkap harimau - itulah yang menyebabkan mereka menjerit. Sepertiga lagi kuduga diserang sumpit beracun. Baru sisanya dengan panah-panah ini."

Lalu Maharaja muda itu menunjuk tempat perlindungan mereka. "Pohon tumbang ini bukan kebetulan ada di sini. Kau sudah mempersiapkannya, untuk berlindung dari hujan panah. Sangat rapi sekali rencanamu, Paman. Kuduga kau juga yang menipu utusanku, agar mengira Gajah Mada memintaku keluar istana."

Nampak terkesan sekali dengan paparan Hayam Wuruk, Senopati Angkrang pun berkata, "Gusti Prabu benar-benar sangat cendekia. Ya, hamba yang mengatur semua jebakan ini. Semua yang Gusti katakan benar, kecuali satu. Hamba tak perlu menipu utusan itu, karena dia juga kaki tangan hamba - seperti mereka!"

Senopati Angkrang mengacungkan tangan tinggi-tinggi. Dan segera bermunculan ribuan sosok dari dalam hutan. Mereka berbaju hitam-hitam seperti gerombolan penyamun, tapi bersenjata lengkap. Dari golok di pinggang sampai busur di punggung. Semua menatap nyalang pada Sang Maharaja.

Hayam Wuruk menggelengkan kepala. Dia lebih sedih daripada takut. "Kau mungkin bisa membunuhku, Paman. Hanya bagaimana caramu merebut tahta? Gerombolanmu ini mungkin terlihat seperti iblis kesiangan. Tapi kurasa kau sendiri tahu mereka tak cukup untuk menggempur Majapahit."

Senopati Angkrang tidak menjawab. Dia tersenyum sekali lagi. Tapi kali ini tanpa rasa hormat. Yang ada hanya keculasan dan kelicikan. Saat itu Hayam Wuruk menyadari sesuatu yang membuatnya tercekam.

Apapun rencana Senopati Angkrang, sepertinya akan jauh lebih licik dari yang pernah dilakukan Ra Kuti.

......

Catatan: kisah ini hanya fiksi semata dan tidak mengacu pada referensi sejarah manapun. Merupakan sekuel dari cerpen sebelumnya yang berjudul 'Smaradahana Sang Gajah Mada'.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun