Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Karya Rendra yang Sebaiknya (Jangan) Dibaca

18 Mei 2021   20:47 Diperbarui: 28 Mei 2021   09:15 2255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Willibrordus Surendra Broto Rendra (1935-2009) atau lebih dikenal sebagai WS Rendra adalah penyair Indonesia yang kharisma dan popularitasnya bersaing dengan penyanyi top, aktor idola, bahkan bintang rock pada masanya (Gambar dari Kompas.id)

Willibrordus Surendra Broto Rendra (1935-2009), atau lebih dikenal sebagai WS Rendra, atau cuma Rendra saja, sepengetahuan saya adalah satu-satunya penyair Indonesia yang kharisma dan popularitasnya bersaing dengan penyanyi top, aktor idola, bahkan bintang rock pada masanya. Sampai ke titik di mana kehidupan pribadinya tak kalah riuh disorot media.

Seingat saya, tidak ada lagi penyair yang bisa membuat pementasan sajaknya sukses di dua sisi. Kritikus memuji dan penonton membludak - padahal disuruh bayar. Dan tidak cuma sajak. Tapi juga teater alias drama. Dari Rambate Rate Rata yang nyaris tanpa dialog, sampai Panembahan Reso yang durasinya jauh lebih lama dari Zack Snyder's Justice League. Dan tetap saja sukses!

Almarhum juga mendapat julukan Si Burung Merak. Mengenai asal mula julukan ini, sepertinya ada dua versi yang berbeda. Pertama, karena penampilannya yang memukau di atas panggung. Kedua, berdasar biografi singkat di salah satu bukunya, karena sebuah kejadian di kebun binatang Gembira Loka, Yogyakarta. 

Waktu itu dia sudah bikin heboh karena punya dua istri, dalam satu rumah pula. Nah, saat berbincang dengan seorang rekannya di kebun binatang tersebut, mereka melihat seekor merak jantan yang selalu dikuntit dua ekor betina. Sambil tertawa, sang penyair berkelakar, "Itu Rendra! Itu Rendra!"

Tapi pernikahan itu tidak langgeng. Rendra memang sempat menambah satu istri lagi, sehingga istrinya tiga. Sunarti, Sitoresmi, dan yang terakhir Ken Zuraida. 

Namun kemudian dia bercerai dengan Sitoresmi, lalu disusul Sunarti. Sehingga pada akhirnya, sampai akhir hayat, pendampingnya adalah Ken Zuraida.

Tentu saja bukan urusan pribadi seperti ini yang melambungkan namanya. Karya-karyanya melahirkan banyak pemuja maupun pembenci. Celakanya, yang terakhir ini termasuk pemerintah Orde Baru yang sedang kuat-kuatnya saat itu. 

Beberapa kali pementasannya dilarang, bahkan sempat dilempari bom amoniak ke atas panggung. Entah apa sebenarnya bom amoniak itu. Tapi kalau sama dengan stink bomb, sepertinya si pelempar punya selera humor. 

Karena amoniak baunya pesing seperti kencing - atau telur busuk. Bayangkan kalau bau seperti itu menguar di tempat pementasan. Cara ampuh membubarkan penonton, bukan?

Sebenarnya tidak sulit memahami kenapa karya-karya Rendra begitu menarik perhatian. Sajak-sajaknya tidak terkesan seperti hasil perenungan orang yang terlalu lama berbaring sambil menatap cicak di dinding. 

Rendra tidak pernah menaruh bata di piring, lalu menghiasinya dengan selada dan saus sehingga kelihatan seperti steak. Sering-sering yang dia lakukan cuma mengangkat bata itu, lalu menggetoknya keras-keras ke jidat kita. Bait pertama sajak Sebatang Lisong ini mungkin bisa jadi contohnya.

Menghisap sebatang lisong / melihat Indonesia Raya / mendengar 130 juta rakyat / dan di langit / dua tiga cukong mengangkang / berak di atas kepala mereka

Bukan berarti sajak-sajak Rendra melulu berbau unjuk rasa dan kritik sosial. Berbeda dengan Iwan Fals saat masih gondrong - yang konon harus dibujuk agar mau membuat lirik bertema cinta, Rendra sama-sekali tidak alergi. 

Cukup banyak sajaknya yang bertema kasmaran, atau bercerita tentang hubungan lelaki dan perempuan. Kutipan bait terakhir dari sajak Surat Cinta ini bisa memberi gambaran.

Kutulis surat ini / kala hujan gerimis / kerna langit / gadis manja dan manis / menangis minta mainan / dua anak lelaki nakal / bersenda gurau dalam selokan / dan langit iri melihatnya / wahai, Dik Narti / kuingin dikau / menjadi ibu anak-anakku!

Dari sekian banyak buku kumpulan puisi Rendra, ada dua yang sering saya baca. Yaitu Blues Untuk Bonnie dan Balada Orang-Orang Tercinta. Alasannya sederhana saja. Tidak perlu mengernyit untuk memahami sajak-sajak di dalamnya. Malah sering dibuat melotot. Terpana. Tak sedikit yang dikemas seperti cerita. Dengan diksi menggelitik, cerita menarik, dan akhir yang dramatik. Temanya beragam, dari yang berbau humor sampai benar-benar horor.

Kabar buruknya, dua kumpulan puisi tersebut juga yang menyebabkan saya menulis judul di atas. Kedua buku itu sebaiknya (jangan) dibaca. Maksudnya, saya menyarankan untuk berhati-hati sebelum membaca. Terutama, dan utamanya, Blues Untuk Bonnie. 

Dua sajak yang termaktub di dalamnya, Nyanyian Angsa dan Khotbah, mungkin bisa menyinggung perasaan karena menggunakan imaji-imaji berbau keyakinan. 

Sementara dua lagi, Kepada MG dan Nyanyian Duniawi, mungkin bisa membuat sebagian orang jengah karena berisi perenungan si 'aku' tentang wanita-wanita yang bersebadan dengannya. Dan satu lagi, saya tidak tahu apa kira-kira apa reaksi netizen jaman sekarang, kalau judulnya saja sudah Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta.

Untuk sajak-sajak lain dalam buku tersebut menurut saya relatif 'aman'. Sajak Blues Untuk Bonnie sendiri dengan lincah menggambarkan suasana kelab malam di Amerika. 

Sajak-sajak yang terangkum di dalamnya memang semacam catatan semasa Rendra melakukan studi di Amerika, sekitar tahun 50-an. Berikut ini cuplikannya.

Georgia. Lumpur yang lekat di sepatu. 

Gubug-gubug yang kurang jendela. Duka dan dunia sama-sama telah tua. Sorga dan neraka keduanya usang pula. 

Dan Georgia? Ya, Tuhan Setelah begitu jauh melarikan diri, masih juga Georgia menguntitnya.

Oiya, ada satu-dua rekaman pembacaan sajak dari buku ini yang bisa kita dengarkan di Youtube. Dibaca oleh Rendra sendiri. Salah satunya adalah Rick Dari Corona. Mungkin jika ada pembaca yang penasaran seperti apa gaya bicaranya saat membaca sajak, bisa mencoba link berikut ini.

Sementara buku kumpulan sajak Balada Orang-Orang Tercinta membuktikan bahwa kita bisa menulis cerpen dalam bentuk sajak atau puisi. Contoh yang ingin saya ketengahkan adalah Balada Lelaki-Lelaki Tanah Kapur dan Balada Atmo Karpo. Bisa dibilang, kedua sajak ini yang menjadi favorit saya dalam buku ini. Keduanya terasa seperti film pendek. Sangat visual dan ujungnya mengguncang.

Balada Lelaki-Lelaki Tanah Kapur menceritakan bagaimana penduduk desa yang dipimpin Ki Lurah Kudo Seto berperang melawan gerombolan penyamun. Berkat kepiawaian seorang Rendra, kita bisa mencium bau udara malam yang menerbangkan debu bercampur aroma keringat dan darah. Dan bagi yang tidak keberatan saya kasih spoiler, klimaksnya adalah sebagai berikut...

Lurah Kudo Seto / bagai trembesi bergetah / dengan tenang menapak / seluruh tubuhnya merah.

Sampai di teratak / istri rebah bergantung pada kaki / dan pada anak lelakinya ia berkata: / "Anak lanang yang tunggal! / kubawakan belati kepala penyamun bagimu / ini, tersimpan di daging dada kanan."

Kalau Balada Atmo Karpo menceritakan seorang perampok berkuda yang tak terkalahkan, kendati menghadapi kepungan penduduk desa Anehnya, berkali-kali dia berteriak, " Majulah Joko Pandan! Di mana ia? Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa!". 

Akhirnya Sang Joko Pandan menantang dan membunuh Atmo Karpo. Di akhir kisah, kita akan terpana mengetahui siapa Joko Pandan itu dan apa hubungannya dengan Atmo Karpo. Tidak, kali ini saya tidak memberi spoiler.

Selain sajak bertema 'action' seperti di atas, di buku ini juga ada sajaknya yang berbau horor. Judulnya Balada Sumilah. Kisahnya tentang seorang gadis yang punya pacar seorang pejuang, nyaris diperkosa tentara Belanda. 

Yang nyaris diperkosa si gadis lho, bukan si pejuang. Bukannya bersimpati, sang pejuang justru jijik dan meninggalkannya. Sang gadis terluka hatinya dan mati di pinggir kali. Sejak saat itu, arwah si gadis terus bergentayangan. Tiap malam mampir di tiap desa sambil terus berkata...

'Samijo! Samijo! Matamu tuan begitu dingin dan kejam. Pisau baja yang mengorek noda dari dada. Dari tapak tanganmu angin napas neraka. Mendera hatiku berguling lepas dari rongga. Bulan jingga, telaga kepundan jingga. Hentikan, Samijo! Hentikan, ya tuan!'

Pendeknya, banyak sajak dalam buku ini yang bernuansa muram dan mengundang kesedihan. Jadi kalau pembaca hidupnya terlalu bahagia dan ingin sesekali bisa stres berat tanpa harus kemana-mana, buku ini bisa dimanfaatkan. Tidak mau? Ya itulah kenapa saya bilang buku ini juga sebaiknya (jangan) dibaca. Hehehe.

Tapi secara pribadi, ada satu sajak dalam buku ini yang tak pernah saya baca ulang. Judulnya Balada Ibu Yang Dibunuh. Soalnya saya penyayang binatang. 

Sementara sajak ini berisi kisah memilukan tentang seekor induk hewan dan anak-anaknya yang masih kecil. Saya lupa hewan apa dan tidak ingin mengingatnya. 

Membuka halamannya juga ogah. Ya, saya tidak kuat membaca cerita tentang hewan yang dibunuh. Tapi kalau yang baku-bunuh dalam cerita itu manusia, saya tidak masalah.

Salam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun