Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Fanfiksi tentang Gundala

3 April 2021   20:10 Diperbarui: 12 April 2021   22:43 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selebihnya adalah sejarah yang gilang-gemilang. Seolah memang digariskan, nyaris tidak ada halangan yang berarti selama pencalonan mereka. Semua berlangsung seperti perkiraan Ridwan. Sancaka sendiri masih sulit percaya ketika akhirnya dia terpilih sebagai Presiden. Dia tidak tahu apakah harus bersujud syukur atau malah gemetar ketakutan.

"Kau harus cepat sembuh, Sobat. Semua ini tak mungkin terwujud berkat gagasan, arahan, dan strategimu," kata Sancaka pada Ridwan usai pelantikan mereka di Istana kepresidenan. Dia berbicara melalui telepon karena wakilnya sedang sakit dan tidak bisa hadir. "Jujur, aku merasa bersalah padamu. Seharusnya kau yang lebih pantas jadi presiden. Kau yang punya otak negarawan dan politikus yang brilian. Aku cuma punya otot yang bisa mengeluarkan petir. Itu pun belum bisa sepenuhnya bisa kukendalikan."

Yang membuat Sancaka heran, Ridwan malah mengatakan sesuatu yang ganjil. "Kau tidak perlu merasa bersalah, Sancaka. Justru sebaliknya. Aku yang harus minta maaf sebesar-besarnya. Kau tidak mengetahui apa yang sebenarnya ada dalam pikiranku selama ini. Tapi percayalah, aku melakukan ini demi kepentingan yang lebih besar dari persahabatan kita. Aku berjanji padamu soal itu, jika janji seorang Judas masih berharga di matamu."

"Hei, tunggu dulu," tukas Sancaka kebingungan. "Kau ini sedang bicara soal apa, Sobat?"

Ridwan tidak perlu menjelaskan. Sancaka segera mengerti, ketika bom berdaya ledak yang sangat dahsyat menghancurkan ruangan tempatnya berada. Bahkan seluruh istana kepresidenan luluh-lantak oleh ledakan tersebut. Sancaka hanya satu dari sekian banyak orang yang tercatat sebagai korban. Sebuah tragedi terburuk yang pernah terjadi di negerinya.

Tapi tentu saja Sancaka tidak meninggal. Kekuatan supernya ternyata lebih hebat dari dugaan pemasang bom tersebut. Meski demikian, bukan berarti dia baik-baik saja. Dia terbangun dengan rasa sakit menghinggapi sekujur raganya. Dan jiwanya juga tak luput dari kepedihan ketika menatap sesuatu di depannya.

Sancaka tidak lagi di istana saat itu. Dia berbaring di sebuah ruangan yang menyerupai bunker bawah tanah. Seseorang pasti telah membawanya ke sini. Tapi siapa? Dan kenapa? Tapi pertanyaan itu dia lupakan saat melihat sebuah televisi menyala di depan matanya. Rupanya sedang menayangkan siaran langsung. Dia melihat wajah Ridwan Bahri di tayangan itu. Sahabatnya sedang membuat pernyataan di depan wartawan. Matanya menahan kesedihan.

"Hanya karena kehendak Tuhan, saya masih hidup sekarang," ujar Ridwan dengan terbata-bata. "Jika tidak sedang sakit, tentunya saya sekarang sudah menjadi martir bersama almarhum - sahabat sekaligus presiden terpilih yang sangat saya hormati. Tapi tindakan pengecut ini, tindakan teroris ini, menunjukkan bahwa kami berdua berada di jalur yang benar. Keinginan kami untuk membawa keadilan yang nyata di negeri ini telah membuat takut musuh-musuh rakyat, sampai mendorong mereka untuk melakukan perbuatan terkutuk ini. Saya bersumpah atas nama Tuhan, dan demi nyawa sahabat saya Sancaka, untuk terus melanjutkan perjuangan. Dengan berat hati saya akan menggantikan posisinya sebagai kepala negara dan memastikan pengorbanan almarhum tidak sia-sia belaka."

"Bedebah!" Sancaka merasakan amarah menjalar seperti api. Apa yang dia lihat memusnahkan keraguan, jika memang pernah ada.  Bahwa Ridwan Bahri, yang dia anggap sahabat sejati, telah mengkhianatinya. Lebih buruk lagi, orang itu sudah merencanakan dari awal. Memanipulasinya untuk mencalonkan diri, seolah memberi dukungan penuh, padahal berniat menyingkirkan dia setelah terpilih. Dasar bajingan!

Amarah memuncak itu menyebabkan kilatan-kilatan petir berloncatan dari tubuh Sancaka. Dan sebelum dia menyadari, salah satu kilatan itu menyambar televisi di hadapannya. Meledakkannya sampai berkeping-keping.

"Kau tak bisa menyalahkannya," tiba-tiba terdengar suara di samping Sancaka. "Ridwan Bahri adalah politikus ulung. Mampu bertahan di puncak meski rezim terus berganti. Hanya ada satu jurus untuk melakukannya, dan itu mengubah wataknya. Politik adalah rimba yang penuh hewan buas. Dan kau hanya bisa bertahan di sana dengan menjadi yang terbuas. Dia menyingkirkanmu karena alasan yang sama. Tidak boleh ada dua raja hutan di satu rimba. Salah satu harus dilenyapkan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun