Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Renungan Sang Bapak

5 Maret 2021   19:53 Diperbarui: 13 Maret 2021   22:00 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dia tahu ini akan terjadi. Cepat atau lambat. Dia terlalu cendekia untuk tidak menyadari. Meski tak pernah disangkanya akan secepat ini. Dia cukup terkejut, kalau tidak mau dibilang terguncang. Biar bagaimana pun dia sudah tua. Dan belum lama perasaan kehilangan itu menggores hatinya. Dan sekarang mereka hendak merampas belahan jiwanya yang lain.

Ini bukan pertama apalagi yang terakhir. Sejarah sesak dengan peristiwa serupa. Tak pernah ada kawan abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Dia lebih suka menyebutnya kekuasaan. Dan uang. Utamanya uang. Ah, Cicero. Filsuf ini mungkin tak seterkenal Machiavelli. Tapi bunga-bunga pikirannya juga terus bergaung. Bahkan pada jaman yang seharusnya lebih beradab seperti sekarang.

Tapi mengerti dan mengalami ternyata berbeda. Dia hampir-hampir tak percaya melihat betapa kemunafikan mereka perlihatkan terang-benderang. Orang-orang itu sekarang berani mencakarinya, menjelekkan namanya. Padahal dunia belum lupa bagamana mereka dulu merubung dan menyanjung dirinya. Dulu, saat kekuasaan masih tercium dari pori-porinya.

Hm, jadi beginilah yang dirasakan Caesar saat melihat Brutus - yang diangkatnya sebagai anak - justru jadi pemegang pisau yang membunuh penguasa Romawi tersebut. Et tu, Brute? - kau juga, Brutus? - itu adalah pertanyaan yang terus keluar dari tahta yang memudar. Dia sekarang bertanya. Seperti pendahulunya dulu juga pernah bertanya hal yang sama.

Mungkinkah itu karma? Hatinya cukup lapang untuk menerima kemungkinan itu. Meski sebagian egonya berusaha menepis. Bahwa apa yang dilakukannya dahulu masih sebatas etika. Menempatkan diri sebagai korban untuk mendapatkan kekuasaan tentunya berbeda dengan menikam dari belakang. Bukankah demikian?

Entahlah. Dia masih kesulitan meyakinkan dirinya sendiri. Di satu sisi, dia tahu dahulu itu dia sudah berusaha keras. Agar tetap dalam ambang kesopanan. Tapi jika tetap ada yang merasa terkhianati olehnya, siapakah yang akan didengar Tuhan? Pembelaannya ataukah yang merasa dia khianati? Entahlah. Entahlah....

Anehnya, kalau pun ini adalah karma, dia tidak merasa getir. Sebaliknya, dia justru lega. Jika ini adalah hukuman buat muslihatnya di masa lalu, maka biarlah. Lebih baik menebusnya sekarang di dunia daripada di hadapan Tuhan.

Lagipula, sejarah juga mengajarkan satu hal lainnya. Tak pernah ada nasib baik buat orang-orang seperti mereka. Dan juga bagi siapa pun yang membiarkan ini terjadi. Ada lembaran-lembaran warta yang menumpuk selama dua dasa warsa terakhir. Orang hanya perlu membuka semuanya untuk mengetahui hal itu. Dia tidak perlu membalas. Mereka sendiri sudah menaruh bara di kepala masing-masing.

Dengan pikiran demikian, dia merasa tenteram. Diputarnya kembali lagu kesayangannya. Frank Sinatra melantunkannya dengan baik. Senyum dan air mata menerbit di wajahnya. Secara bersamaan.

.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun