Mohon tunggu...
Nugraha Wasistha
Nugraha Wasistha Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas

Penggemar bacaan dan tontonan

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Pandemi: Kalau Saja Semua Orang Seperti Michael Jackson dan Howard Hughes

23 Januari 2021   00:01 Diperbarui: 9 Maret 2021   19:30 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepertinya virus corona ini betah sekali menemani kita. Ibarat tamu, belum ada tanda akan segera pamit. Malah seperti sudah dianggap kita ini rumahnya sendiri.

Padahal kata pakar yang bukan kaleng-kaleng rombeng, seperti dokter Anthony Faucci misalnya, makhluk-makhluk halus ini tak akan lama keluyuran kalau semua orang disiplin. Sekedar pakai masker saja sudah membuat mereka kelabakan. Apalagi ditambah cuci tangan dan jaga jarak (hayo, siapa sudah bosan mendengar 'pesan ibu' ini?)

Tapi ya itu masalahnya. Menjalankan 3M sepertinya masih berat buat kebanyakan orang. Tidak cuma negeri kita. Negeri orang sama saja. Banyak yang mengabaikan protokol. Bahkan merasa itu bentuk penindasan, dan melawannya adalah tindakan patriotik.

Makanya kadang saya mikir, jika saja dunia dipenuhi orang seperti Michael Jackson dan Howard Hughes, mungkin pandemi ini sudah layu sebelum berkembang.

Kalau Michael Jackson kayaknya semua orang kenal. Entah pembaca dari kalangan milenial yang baru lahir waktu K-Pop sudah mengkudeta dunia musik. Kita-kita yang generasi '90-an pasti masih menganggapnya sang raja. King of Pop. Yang sudah menari seperti di bulan sebelum semua anggota BTS belajar merangkak.

Apa hubungannya raja yang sudah mangkat ini dengan corona? Justru mungkin hubungannya bakal baik-baik saja kalau almarhum masih hidup.

Soalnya dulu semua orang tahu dia suka memakai masker ke mana-mana. Alasannya mungkin terdengar aneh di jaman itu, dan baru terasa masuk akal sekarang.

Mantan bodyguard-nya yang bernama Matt Fiddes, saat diwawancarai The Sun, mengatakan Jacko memakai masker untuk mencegah ketularan virus dari orang lain. Dia yakin suatu saat orang bisa benar-benar sakit parah gara-gara virus seperti itu.

Menurut Matt, keyakinan atau kecemasan itu mungkin timbul gara-gara jadwal-nya yang gawat. Dalam satu hari dia bisa berada di empat negara yang berbeda. Dan selalu berada di pesawat dengan begitu banyak orang.

Suatu saat Matt bercanda, "Michael, kumohon lepaskan masker itu. Aku jadi senewen melihatmu terus memakainya."

Michael menjawab, "Matt, aku susah kalau sampai sakit. Selalu ada konser menunggu. Fans bisa marah kalau sampai suaraku serak atau lebih parah lagi. Jadi aku harus berusaha tetap sehat. Kita tidak tahu persis kondisi orang-orang yang kita temui hari ini. Kita tidak apakah mereka sakit atau tidak."

Cara berpikir yang sangat cocok untuk situasi sekarang, bukan?

Oke. Sudah cukup dengan Michael, sekarang mari kita kenalan dengan Howard Hughes. Yang bersangkutan sudah almarhum juga. Sudah lama sekali malah. Dia terkenal sebagai genius serba bisa. Seorang perancang pesawat terbang seperti Pak Habibie, sekaligus produser film seperti Pak Punjabi, dan juga terkenal sebagai playboy seperti saya. Hehehe.

Oiya, dia juga yang mengilhami Stan Lee (Mbah-nya Marvel itu lho) untuk menciptakan karakter Tony Stark alias Iron-Man. Makanya ayah Tony Stark dinamai Howard Stark. Sebagai semacam penghormatan.

Nah. Kalau soal menjaga kesehatan, dia lebih hebat dari Michael. Atau tepatnya lebih parah.

Howard Hughes menghabiskan sebagian besar dari hidupnya untuk menghindari segala macam kuman. Kalau pernah menonton film biopic-nya yang berjudul Aviator (dibintangi Leonardo Di Caprio) ada di situ digambarkan bagaimana dia sering sekali mencuci tangan dalam sehari. Sampai-sampai tangannya berdarah.

Bukan cuma itu. Setiap kali dia berjumpa dengan seseorang dan ternyata orang itu sakit, Howard akan membakar semua pakaiannya. Pakaiannya sendiri lho, bukan pakaian orang tersebut.

Dia juga menulis manual cara membuka makanan kaleng untuk para pembantunya. Dimulai dari melepas label dengan arah yang 'benar', lalu menggosok bagian yang semula tertutup label, sampai tak tersisa bekas kertas dan perekat. Habis itu melapnya sampai bersih, sebelum menuangkan isinya ke mangkuk tanpa boleh menyentuh mangkuknya.

Menjelang akhir hayatnya lebih gawat lagi. Dia suka telanjang dalam kegelapan di kamar tidur hotel. Cuma memakai kotak tisu untuk melindungi kakinya. Kenapa dia memilih kamar hotel itu? Menurutnya itu area bebas kuman. Lalu kenapa tidak berpakaian tapi membungkus kaki pakai kotak tisu? Nah, itu yang saya juga tidak menemukan penjelasannya.

Kalau dilihat dari ilmu psikologi, katanya kedua orang itu diasumsikan menderita germaphobe. Bukan. Itu bukan phobia terhadap germo. Tapi ketakutan yang berlebihan terhadap kuman penyakit. Pengidap gangguan jiwa ini dalam sehari-harinya menjalankan 'protokol kesehatan' yang - dalam situasi normal - akan terasa berlebihan. Jadi semacam paranoid lah.

Masalahnya, seperti bunyi tagline film 'Enemy of the State'. It's not paranoid if they're really after you. Bukanlah paranoid jika musuh itu benar-benar ada dan berbahaya. Oke, katakanlah itu semacam kegilaan. Rasanya kegilaan seperti itu lebih bermanfaat untuk situasi sekarang, dari pada kenormalan yang semu. Mengingat pandemi yang makin tak terkendali.

Lagipula, kedua tokoh itu membuktikan 'sakit' tidak menghalangi mereka untuk jadi orang sukses. Sesuatu yang lebih sulit dicapai kalau sakitnya tidak pakai tanda kutip.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun