Akhirnya Joseph Robinette Biden Jr menjadi presiden Amerika Serikat, setelah melalui pemilu presiden paling panas dalam sejarah. Tak hanya dramatis, tapi juga inspiratif. Terutama bagi mereka yang pernah atau sedang mengalami masalah dalam berbicara.
Ya. Presiden ini dulunya penderita stutter alias gagap. Biden kecil sering mengalami bully karena masalah ini. Teman-teman sekolahnya memanggil dia "Bye-Bye" saat dia berusaha menyebut nama belakangnya.
Dalam memoarnya yang dia tulis tahun 2008, dia menyebut ada seorang guru perempuan yang juga merisaknya. Guru itu suka memanggilnya dengan nama "Mr. Bu-bu-bu-Biden" sampai membuat dia tak betah di kelas. Ibunya, Catherine Finnegan Biden, akhirnya menghadap guru tersebut dan berkata, "Jika kau pernah bicara seperti itu lagi pada anakku, aku akan menghajarmu!"
"Tidak ada yang benar-benar membuat kepercayaan diriku hilang total selain kegagapan yang kualami di sekolah dasar," ujarnya saat berbicara di American Institute for Stuttering tahun 2008.
Biden menjelaskan, dia menanggulangi kegagapannya itu dengan membaca puisi-puisi Irlandia, termasuk karya William Butler Yeats, di depan kaca. Untuk mengendalikan distorsi wajahnya. Sampai-sampai dia hafal banyak puisi sampai sekarang.
Meski demikian, kalau kita rajin menyimak dia bicara, masih terlihat sisa-sisa dari masalah ini. Terutama jika sedang mengutip kata yang agak sulit atau sedang emosi.
Seorang pengejeknya pernah berkata, "Bagaimana dia mau menyelesaikan banyak persoalan, kalau menyelesaikan satu kalimat saja tidak bisa."
Bayangkan. Dengan kelemahan seperti itu, dia harus berhadapan dengan seorang  Donald J Trump. Seorang yang sangat pintar bicara, senang bersilat lidah dan berpengalaman sekian lama sebagai bintang televisi. Ronald Reagan in steroid, itu julukannya.
Megyn Kelly, mantan penyiar Fox yang pernah dibully Trump, dalam wawancara dengan PBS mengatakan, "Trump itu mungkin bisa disebut apa saja saat tampil. Tapi membosankan bukanlah salah satunya."
Dari sudut ini, pilpres kemarin bisa dilihat seperti pertarungan epik. David melawan Goliat. Pendekar Gagap melawan Pendekar Lidah Tajam. Bagaimana orang yang masih berjuang mengeja harus berhadapan dengan jagoan bicara.
Lebih parah lagi. Bukan cuma pandai bersilat lidah, Trump juga sangat dikenal sebagai tukang bully. Dan sangat kreatif dalam hal ini. Biden diejeknya sebagai 'Sleepy Joe'. Kamala Harris disebutnya 'Monster'. Dan ketua Dewan Nancy Pelosi dia gelari 'Crazy Nancy'.
Selain pada lawan politiknya, Trump juga menjadi buldozer bagi jurnalis yang kritis. jurnalis kawakan seperti Chris Wallace sampai Savannah Guthrie dia pecundangi. Lesley Stahl malah sempat dibully selama sekitar 20 menit di acara 60 minute.
Itulah yang terjadi saat Biden dan Trump akhirnya berhadapan di debat pertama. Trump terlihat begitu dominan. Bahkan saat tidak bicara. Dia jarang menunduk. Mukanya selalu tengadah. Sudut bibirnya mengarah ke bawah. Matanya terus menatap Biden. Seperti kucing menatap tikus. Glowering, kalau bahasa sononya.
Don't play other's game. Do it your own way. Itulah strategi yang dilakukan Trump dalam debat yang sering dibilang paling ancur dalam sejarah itu.Â
Trump tidak mau tunduk pada aturan yang ditetapkan. Tidak mau diam saat Biden bicara. Terus saja memotong dan melontarkan komentar pedas. Dan saat giliran bicara, bukannya fokus pada programnya sendiri, Trump tetap saja membully dan membully. Dan membully.
Biden, yang terbiasa dengan kode etik dan sopan-santun, tentu saja stress diajak perang urat-syaraf model reality-show seperti ini. Beberapa kali artikulasinya menjadi tidak lancar. Dan penyampaian programnya juga jadi tak maksimal.
Dan bukan cuma Biden yang kelabakan. Chris Wallace, penyiar senior Fox News yang menjadi moderator debat pertama itu, seperti kehilangan akal mengendalikan jalannya debat. Beberapa kali dia sempat nyaris berteriak pada Trump.
Tak heran seorang pendukung Trump di twitter berkomentar, "Presiden kita menghadapi dua orang. Dan menang!"
Nancy Pelosi, yang begitu geram dengan kelakuan Trump, malah sempat menyarankan Biden tidak usah lagi mengikuti debat selanjutnya.
Tapi uniknya, jajak pendapat yang dilakukan segera setelah debat ternyata mengejutkan. Hasil dari FiveThirtyEight bersama Ipsos menyatakan mayoritas responden justru menilai Biden yang menjadi pemenang debat itu. 59 banding 32 untuk penampilan. Dan 56 banding 39 untuk kebijakan.
Demikian juga dengan polling CNN. 53 persen menyatakan Biden unggul. Hanya 39 persen yang menyatakan sebaliknya.
Menurut BBC, mungkin mayoritas pemirsa melihat di balik kelemahannya, Biden ternyata bisa bertahan di bawah tekanan. Bahwa dia tidak goyah dengan segala keterbatasannya. Mampu menerima lemparan kue di mukanya, dan tetap tenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H