Waktu berlalu. Semua yang disebutkan di paragraf sebelumnya bubar jalan tak ada yang melenggang. Yang naik ke permukaan justru cukup mengejutkan. Cikeas yang sempat satu dekade jadi penguasa mengutus Agus Harimurti Yudhoyono untuk maju bersaing menjadi gubernur Daerah Khusus Ibu kota. Mantan None Jakarta, Sylviana Murni, didapuk sebagai calon wakilnya. Calon petahana yang sebelumnya ingin maju lewat jalur independen mendadak memilih kubu Banteng sebagai kendaraan politik mempertahankan jabatan. Hambalang memilih Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai duet yang mengandalkan sikap dan gestur kebalikan dari petahana.
Semua calon memiliki visi dan misi yang baik. Tujuannya tentu perbaikan untuk Jakarta. Agus yang muda dan punya pengalaman di militer menjanjikan ide-ide segar dan kreatif. Ahok yang kinerjanya jelas terlihat dalam beberapa tahun ke belakang tentu tak diragukan untuk memimpin satu periode lagi. Anies yang cara bicaranya sejuk dan kenyang pengalaman di dunia pendidikan berhasrat menerapkan demokrasi santun untuk Jakarta dan Indonesia secara umum.
Namanya juga kompetisi, saling cela antar-pendukung menjadi hal yang jamak ditemukan, di dunia maya atau di tongkrongan. Seakan-akan nasib kira-kira sepuluh juta penduduk kota ditentukan siapa calon yang menang. Pendukung yang satu bicara jagoannya yang paling baik, pendukung yang dua dan tiga pun begitu. Dukungan berlebih kadang mengaburkan kebaikan-kebaikan yang terkandung pada lawan main.
Rakyat Jakarta (sebagian besar) menaruh perhatian lebih pada Pilkada tahun ini. Debat calon yang disiarkan langsung di stasiun televisi nasional menjadi acara yang dinanti. Bahkan, nonton bareng debat menjadi hal yang cukup sering terlihat, hampir sama antusiasmenya ketika tim nasional sepak bola sedang bertanding.
Mohammad Hatta pernah menulis dalam Daulat Ra’yat tanggal 10 Agustus 1933 yang diberi judul “Sukarno Ditangkap”. Tulisan itu sebagai tanggapan atas ditangkapnya Sukarno oleh pemerintah Hindia Belanda karena kegiatan politiknya yang dinilai mengancam. Berikut adalah kutipan dari tulisannya:
“Pergerakan kita tak boleh tinggal pergerakan pemimpin, yang hidup dan mati dengan pemimpin itu. Akan tetapi, pergerakan kita harus menjadi ‘pergerakan pahlawan-pahlawan yang tak punya nama’, artinya pergerakan rakyat sendiri, yang tidak tergantung kepada nasibnya pemimpin.”
Sepertinya ungkapan Historia Magistra Vitae yang berarti sejarah adalah guru kehidupan benar adanya. Anjuran Bung Hatta cukup relevan bila ditarik ke masa kini, meski konteks dan kejadiannya jauh berbeda. Warga Jakarta terlalu sibuk mengomentari pemimpin atau calon pemimpinnya. Sibuk mencari baik dan buruknya, membandingkan, hingga menuduh yang bukan-bukan.
Gubernur terbaik di dunia pun rasanya tak akan mudah membangun kota yang isinya para pelanggar aturan. Tidak usah jauh-jauh mengambil contoh. Jalan raya sudah menjelaskan semuanya. Kita terlalu jeli melihat ke luar sehingga lupa memandang diri kita sendiri.
Sudahkah kita berhenti di belakang garis setop saat lampu berwarna merah? Sudahkah kita membuang sampah pada tempatnya? Sudahkah kita memiliki izin legal dalam mendirikan bangunan dan tempat usaha? Sudahkah kita tahan untuk tidak masuk jalur TransJakarta meski tak ada petugas yang berjaga?
Antara Agus, Ahok, dan Anies, yang kebetulan memiliki aksara sama di awal nama panggilannya, bakal ketempuhan tanggung jawab soal Asian Games setahun mendatang. Ajang tersebut bukan hanya mempertaruhkan muka Bapak Gubernur terpilih, melainkan muka seluruh warga Jakarta dan Indonesia secara umum. Mari sambut Asian Games dengan berlaku tertib di jalan, membuang sampah di tempatnya, dan bertindak sopan kepada siapa saja. Ajangnya memang tak lama, tetapi kesannya akan melekat selamanya.
Siapa pun pemimpinnya, asal bukan penjahat, pasti akan mudah bila ia tak bergerak sendiri. Jakarta butuh gerak rakyatnya sendiri untuk memuluskan program-program baiknya. Jakarta butuh rakyat yang sadar mana yang benar dan mana yang salah. Persis dengan kata-kata Bung Hatta yang ditulis dalam otobiografinya, Untuk Negeriku,berikut ini: