Mohon tunggu...
Budi Nugroho
Budi Nugroho Mohon Tunggu... -

pengetahuan sebagai kekuatan untuk maju dan berkembang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Demo Warga: Fasilitas Umum Digusur untuk Kepentingan Bisnis?

29 Agustus 2015   21:19 Diperbarui: 29 Agustus 2015   21:19 1301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demo Warga: Fasilitas Umum Digusur untuk Kepentingan Bisnis?

Oleh: Budi Nugroho

Peristiwa menarik dari Yogyakarta dan perlu mendapat perhatian serius muncul ke permukaan belum lama ini. Terpetik berita bahwa sejumlah warga yang tergabung dalam kesatuan aksi Forum Kampung Sosrokusuman bersatu melakukan aksi demo di depan Mal Malioboro, Kamis (27/8/2015). Warga Sosrokusuman menuntut kepada pihak Mal untuk mengembalikan fasilitas umum yang ‘dicaplok’ dan telah dipagari, ditengarai untuk pengembangan/perluasan usaha bisnisnya.

Aksi demo para warga setempat didukung 15 anggota aktivis Social Movement Institute (SMI), Yogyakarta turun ke jalan memperjuangkan apa yang selama ini dituntut oleh warga Sosrokusuman, yaitu menuntut kepada pihak Mal untuk mengembalikan fasilitas umum seperti semula. Fasiltas umum yang telah dikuasai tersebut antara lain: lapangan tenis, akses jalan perumahan penduduk, kuburan tua, tapak fondasi candi yang seharusnya dilindungi (http://jogja.tribunnews.com/2015/08/27).

Kasus serupa sesungguhnya tidak hanya terjadi di Yogyakarta. Di daerah lainpun pengalihan fungsi terhadap fasilitas umum, bahkan kasus-kasus yang terbukti telah melanggar peraturan hukum yang berlaku maka ancaman terhadap pembatalan sertifikat tanah oleh BPN bisa dilakukan.

Kasus pembelian tanah oleh pihak Mal Malioboro Yogyakarta yang lokasinya terletak di belakang ‘toko modern’ tersebut (sebelah timur kawasan Jalan Malioboro) ternyata berbuntut panjang. Pasalnya para penghuni/warga perumahan yang dulunya milik Bumi Putra (BUMN) tersebut merasa gerah dan emosi lantaran fasilitas umum (lapangan tenis) termasuk akses jalan di lingkungan perumahan menjadi semakin sempit dan dipagar, bahkan ada jalan perumahan ditutup total oleh pagar-pagar seng.

Dalam kasus ini, ada beberapa hal penting untuk disimak. Pertama, tentang pembelian lahan berupa fasilitas umum/fasilitas sosial seperti lapangan tenis di lingkungan rumah penduduk dimana fasilitas olahraga ini (sejak tahun 1972) sering dimanfaatkan oleh warga, juga untuk bermain anak-anak sebagai sarana ruang publik.

Pembelian fasilitas lapangan yang sekaligus berfungsi sebagai ruang publik ini patut dipertanyakan, ditambah lagi setelah sebagian rumah warga dibeli, selanjutnya tanpa persetujuan warga setempat – dilakukan pemagaran keliling. Dampaknya, akses jalan umum di lingkungan perumahan menyempit, rumah-rumah warga yang tak mau dijual kini terganggu karena akses jalannya yang tersisa menjadi semakin tidak layak.

Kedua, langkah pemagaran yang dilakukan oleh pembeli lahan (pengusaha/pebisnis Mal Malioboro) hanya sepihak, komunikasi dengan warga untuk bermusyawarah yang dilakukan belum mencapai titik temu namun pemagaran segera berlangsung. Hal ini yang kemudian mengundang masalah hingga warga melakukan demo menuntut hak-haknya sebagai upaya untuk mengembalikan fungsi fasilitas umum yang sudah sejak lama dipergunakan.

Sudut pandang hukum

Dari sudut pandang hukum, sebagai orang awam penulis mengetahui bahwa fasilitas umum atau ruang publik harus ditaati oleh setiap orang perseorangan/badan hukum. Sehubungan hal itu, merujuk pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU No. 26/2007) disebutkan bahwa:

Pemanfaatan prasarana dan sarana perumahan harus mengacu pada Pasal 61 UU No. 26/2007, yaitu dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib: (a) menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; (b). memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; (c). mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan (d) memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

Yang dimaksud dengan menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan adalah kewajiban setiap orang untuk memiliki izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang (Penjelasan Pasal 61 huruf a UU No.26/2007).

Arogansi pemodal

Di tengah kehidupan yang demokratis dan era keterbukaan seperti sekarang, sudah tidak sepantasnya lagi suatu keputusan apalagi berurusan dengan kepentingan umum hanya diputuskan secara sepihak. Seperti halnya pembelian lahan fasilitas umum kemudian dilakukan pemagaran terhadap lahan di kawasan Sosrokusuman Yogyakarta yang berdampak pada terganggunya kualitas permukiman.

Kesan arogansi pemodal dengan kekuatan ekonomi untuk menggusur fasilitas umum akan selalu mengundang masalah baru. Warga yang pada awalnya merasa tenang dan nyaman menjadi resah akibat ulah yang kurang menunjukkan simpati tersebut. Pasalnya, komunikasi antara pihak pengusaha dengan warga untuk bermusyawarah belum final – namun tindakan berupa aksi pemagaran lahan oleh pihak pengusaha/pebisnis sudah dilakukan, sehingga berlangsung demo sebagai reaksi dari warga setempat.

Penanganan proporsional

Untuk mencegah permasalahan pembelian lahan/penggusuran fasilitas umum seperti dipaparkan diatas tentunya turut mengundang perhatian semua pihak terkait/pihak yang berkompeten. Masalah ini tidak bisa dibiarkan berlanjut dan merembet terjadi di mana-mana seiring bertumbuhnya usaha-usaha padat modal yang kini terus merambah ke suluruh penjuru tanah air.

Memasuki era pasar bebas yang kental dengan liberalisasinya memang sudah semakin menggejala di hampir banyak tempat. Dampak-dampak yang terjadi sudah muncul ke permukaan dan rakyatlah yang selalu menjadi korbannya.

Terhadap kasus yang terjadi di Yogyakarta ini, betapa perlunya segera ditindaklanjuti untuk dicarikan solusi terbaik. Terutama pihak-pihak yang berkepentingan seperti: pemerintah daerah/Pemkot Yogyakarta, pihak pengusaha Mal Malioboro, warga Sosrokusuman melakukan dialog untuk bermusyawarah mencari kesepakatan. Bilamana perlu, mengingat kawasan perumahan ini dulunya milik Bumi Putra (BUMN) bisa dihadirkan wakilnya sebagai pelengkap informasi dan sejarah keberadaan permukiman hingga jatuh ketangan pebisnis.

Melalui langkah-langkah penanganan proporsional seperti itulah kemungkinan bisa diambil sebuah kesepakatan semua pihak. Pengembangan bisnis di era pasar bebas seperti sekarang memang bisa dipahami. Akan tetapi, bukan berarti pemilik modal menjadi ‘penguasa’ untuk mengembangkan usahanya tanpa memperhatikan lingkungan dimana mereka berada.

Perlu disadari bahwa sebesar apapun sebuah lokasi usaha/bisnis, tanpa didukung oleh lingkungan hidup dan kehidupan di sekiatarnya – hanya akan mengundang persoalan baru sehingga akan mengganggu keberlangsungannya. Keselarasan dan keserasian perlu diciptakan demi memenuhi kepentingan bersama. Ini sesuai dengan semboyan “Yogyakarta Berhati Nyaman” dan jangan sampai rakyat melakukan demonstrasi dalam kasus serupa dengan yel-yel yang kurang sedap yaitu: Jogja Ora Didol (Jogja Tidak Dijual)!!

Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun