"Pias" - Judul karya Aris Setyawan dengan ukuran mungil A5 memuat 21 esai dengan jumlah halaman 279 ini ditulis dalam gaya yang sederhana, cenderung reflektif, penuh makna dan kaya akan pengamatan sehingga membuat pembaca diajak berpikir lebih dalam. Setiap esai berdiri sendiri, namun semuanya saling berhubungan dalam nuansa refleksi pribadi penulis. Beberapa esai didalam mengeksplorasi pengalaman perjalanan penulis di berbagai tempat, mulai dari kota-kota besar hingga pelosok desa. Ada juga esai yang berfokus pada momen-momen sehari-hari yang diangkat menjadi refleksi filosofis yang lebih dalam.
Dalam buku "Pias - Kumpulan Tulisan Seni dan Budaya" karya Aris Setyawan, terdapat sejumlah kritik sosial terhadap fenomena-fenomena di Indonesia yang terselip di balik refleksi penulis terhadap kehidupan sehari-hari. Meskipun buku ini berfokus pada catatan perjalanan dan renungan pribadi, ada beberapa aspek yang secara implisit maupun eksplisit menyinggung situasi sosial, budaya dan lingkungan di Indonesia seperti krisis identitas budaya, perubahan sosial dan globalisasi, hilangnya nilai-nilai tradisional, perusakan alam dan ketidakpedulian terhadap lingkungan, komodifikasi pariwisata dan ketidakmerataan pembangunan.
Jadi yang akan menjadi pembahasan utama pada artikel ini ialah; walau buku "Pias" ini memang lebih berfokus pada refleksi personal, perjalanan, dan renungan filosofis daripada kritik politik yang eksplisit. Namun penulis tertarik untuk mendalami beberapa esai dalam buku ini yang dapat dilihat sebagai tanggapan halus terhadap fenomena politik di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan dampak politik terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan.Â
Diantara bab kritik politik yang tersirat maupun tersurat ialah:
1. Politik Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan
Salah satu kritik yang dapat diidentifikasi adalah pandangan penulis terhadap politik pembangunan yang seringkali mengabaikan keseimbangan antara kemajuan dan kelestarian lingkungan. Dalam konteks politik di Indonesia, pembangunan seringkali dilakukan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat adat. Penulis menyoroti bagaimana proyek-proyek pembangunan, baik yang didorong oleh pemerintah maupun swasta, seringkali lebih mengutamakan keuntungan jangka pendek dan mengabaikan keberlanjutan alam.
2. Ketidakadilan Sosial Akibat Kebijakan Politik
Kritik terhadap politik di Indonesia juga dapat ditemukan dalam refleksi penulis tentang ketimpangan sosial yang semakin melebar. Aris Setyawan mengkritik kebijakan politik yang cenderung menguntungkan kelompok elite dan meninggalkan masyarakat kecil, terutama di daerah-daerah terpencil. Fenomena ini seringkali menjadi hasil dari kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil dan lebih condong kepada kepentingan kapitalis dan oligarki politik. Kritik ini muncul melalui deskripsi kehidupan di pedesaan dan daerah-daerah yang tidak tersentuh pembangunan, meskipun negara terus mengklaim telah melakukan pembangunan secara merata.
3. Politik Identitas dan Polarisasi Sosial
Meski tidak secara langsung menyinggung politik identitas, buku ini dapat ditafsirkan sebagai respon terhadap polarisasi sosial yang semakin meningkat di Indonesia. Politik identitas yang seringkali dieksploitasi oleh para elite politik dalam meraih kekuasaan telah menyebabkan perpecahan dalam masyarakat. Penulis menggambarkan bagaimana nilai-nilai tradisional dan kebersamaan yang dulu kuat kini mulai pudar karena pengaruh politik yang mengkotak-kotakkan masyarakat berdasarkan identitas agama, etnis, atau kelas sosial.