Tulisan-tulisan yang sedang kau baca ini.
Aku kebetulan mengukirnya di tengah ramainya kedai coffee bekas yang dimanfaatkan dari jajahan belanda.
Kedai ini berada tidak jauh dari istanaku. Orang-orang bandung menyebutnya "Markas Lea". Sedang aku sendiri menyebutnya dengan sebutan;rumah Alea. Iya benar. Itu rumahku. Tapi dari ujung lalu lintas kota, siapapun mengira bahwa rumahku nampak seperti markas narapidana dengan segala nuansa . Yang terisi malam hari; para anak punk, anak jalanan dan barang-barang bekas hasil koleksi kakek hingga sumbangan warga.
Sampai usia dewasa sekarang; siapapun yang mampir markas kami aku sudah sangat hafal bentuk alasan-alasannya; sekedar ingin menjamu kakek, pinjam alat antik kakek dengan nyamar jadi tukang servis mesin tik, sekedar ngopi, menjadikan tempat tidur semalam hingga banyak alasan-alasan tidak masuk akal. Semua itu adalah hasil dari pribadi kakek yang sangat terbuka. Ya apa boleh buat. Tidak ada yang mau mengakui kalau tempat tinggalku itu adalah rumah. Hanya pantas disebut markas atau kedai.
Aku tidak punya keluarga resmi. Aku versi dewasa ini terbiasa sendiri. Yang masih sama dari duludan sekarang; aku sudah terlanjur dianggap anak bungsu dari para anak-anak liar di bandung. Karena apa? Ya hanya karena aku diasuh oleh seorang kakek dengan berbagai kepribadian uniknya. Kakek tercinta. Kakek tercintaku dan kakek para genk liar di kota. Tapi tidak tercinta lagi kalau saja kakek sengaja mentirikan cucu pungutnya demi para geng liar bandung. Enak saja mereka. Setiap malam diberi tumpangan tidur ketika aku sedang capek-capeknya pulang main. Dan mendadak jadi babu ketika jam malam tiba. Mau tidak mau semesta menyuruhku untuk membuat setidaknya 20 cangkir kopi untuk para anggota tongkrongan. Siapa lagi kalau bukan kakek dan abang-abang dengan kalung rantai yang ngrasa kecakepan kalau nongki di jalanan.
"Kakek mah sukanya begituuu.. Aku mau tidur saja"
"Alah Lea, jangan begitu, Buatkan abang-abang kau ini dari kopimu yang paling nikmat" Perintah halus dengan nada khas kakek. Gayanya nyandar kursi. Di tengah gerombolan mereka yang menjadikan meja sebagai tempat duduk. Intinya jika kakek sudah seperti itu, itu tandanya abang-abang jalanan sudah siap mendengar kakekku bercerita.
Maka jika sudah mulai membujuk aku yang masih umur 12 tahun itu untuk membuat bermili-mili kopi, ada saja yang suka menyaut tidak jelas.
"Ayo Dek, Setelah ku sruput kopimu, ku doakan nilai matematika mu 100 terus"
"Berisik saja"
Iya, dari aku kecil, aku memang suka memasang wajah menggerutu. Karena setiap hari selalu dibuat terheran-heran- tidak habis pikir pada kakek yang sangat suka membawa sejumlah orang asing ke markas kami.