Mohon tunggu...
Nufi Asii Fairuziyyah
Nufi Asii Fairuziyyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - .

Jika tulisan ; Aku, Maka bukumu; Duniaku_ Gila Sastra

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebanggaan Eksistensi Berpolitik Islam dan Berbudaya Jawa, Santri Punya Itu

18 Desember 2023   01:38 Diperbarui: 20 April 2024   12:22 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Mengulik kebudayaan sepertinya memang tidak sepatutnya dibahas hanya pada satu naskah saja. Apalagi yang akan saya giring adalah budaya yang bersubstansi golongan identitas tertentu. Mungkin akan lebih menarik jika pembaca tidak menggunakan nada membaca buku mata kuliah ya. Iramakan saja dengan monolog nada khas Jawa. Tegas dan bermoral.

Selain sadar tidak sadar ditakdirkan untuk bernafas dilingkungan yang kental dengan nuansa Jawa Islam, Gusti Allah juga mentakdirkan saya untuk menemukan karya-karya tentang Jawa Islam, khususnya dalam perspektif sosiologi-antropologis.
Kebanggaan hidup bersamaan dengan kedua budaya tersebut adalah sama seperti turut menjadi pencipta ko-eksistensi yang singkretik. Fokus dengan identitas santri saja contohnya.

Lalu pertanyaannya; etiskah santri dijadikan objek politik dengan gubuk pesantren sebagai suatu eksistensi sosialnya? 


Sebelumnya, Stuart Hall menjelaskan identity politics sebagai the politics of location artinya politik menempatkan individu-individu pada lokasi-lokasi (realitas sosial) tertentu dikonstruksi. Seperti sejarah Jawa yang mengarsipkan jasanya akan pemberian kebebasan ulama dalam mendirikan sepetak pesantren contohnya.

Flash back pada keilmuan sejarah santri yang menarik, bahwasanya dahulu kala pada mulanya, kaum santri sendiri mempunyai kekuasaan tertinggi diatas kerajaan-kerajaan Islam di Jawa. Contohnya kerajaan Giri yang dipimpin langsung oleh ulama yang kemudian beliau mempunyai wewenang untuk melantik  gelar raja-raja Jawa sehingga kemudian disebut dengan sebutan Paus van Java.

Sebab tidak ada keharuan selain mengingat sejarah kemerdekaan politik dan budaya pada keharuman kembali santri. Dimana pada zaman raja Mataram yang singkat cerita bergelar sebagai "Sayidin panatagama kalifatullah ing Tana Jawa", yaitu raja merangkap penata agama dan wakil Tuhan di Jawa yang kemudian menjadikaj santri/ulama hanya diangkat sebagai aparatur birokrasi dibawah raja. Situasi yang demikian itu sering menimbulkan konflik kultural antara raja dan perangkat birokratnya dengan santri yang ingin mengembalikan kekuatannya. Dalam hal ini (birokrasi/priyayi) didukung oleh kaum abangan dalam menentang kaum santri.
Maka jika perjuangan pahlawan guru besar santri; Mbah Hasyim sarat dengan keagungan fisik, mentuankan senjata, dan turun di medan laga, sekarang tantangan kaum santri sebagai objek Islam Jawa juga tidak kalah berat.

Kebudayaan Jawa sendiri memang hampir tidak dapat dipisahkan dari Islam, termasuk dalam bidang politik. Ok Jadi mau lebih dalam mbahas politik?

Iya, mungkin sedikit saja. Karena siapapun tahu, bahas politik dan budaya pada waktu yang sama dan ditulis hanya pada satu naskah sama saja menciptakan parikan ilegal dua baris.

Jadi, setelah menilik perbedaan kultur dan budaya yang ada disekitar-sekitar kita kadang memunculkan sikap primodial yang kemudian sikap tersebut bisa menimbulkan konflik antar masyarakat, hal ini diakibatkan karena adanya perebutan sumberdaya dan kepentingan politik. Sehingga kemudian Geertz mengatakan bahwa nilai-nilai budaya memainkan peranan penting dalam konflik politik karena warga masyarakat akan kembali ke nilai-nilai budaya dan kelompok primodial masing-masing bila terlibat konflik dengan pihak lain karena merasa tidak puas dengan perkembangan politik. 

Akibatnya peneliti-peneliti akademik yang sebelumnya buta akan budaya Islam dan lebih besar darinya mencari tahu keilmuan budaya Jawa serta ditakdirkan untuk menemukan golongan menarik; akhirnya menyimpulkan dengan kesan pertama bahwa "Identitas santri yang masih dibiarkan hidup di negaranya ternyata mempunyai kesan negatif tersendiri daripada anak muda modern kebanyakan yang dianggap memiliki kebebasan lebih dalam menebarkan hal yang lebih positif untuk mengembangkan dunia". Beberapa kesan pertama yang biasa dipikirkan adalah; cara tindak tunduk nya yang terlalu kuno, kuatnya perasaan rela dikuasai dengan dalih takdzim, hingga kekakuannya dalam berekspresi.

Kesan tersebut memang mempunyai kebebasan dipelihara, namun indah yang paling sederhananya disini adalah ketika tanah Jawa masih membiarkan pemandangan Islam dipelihara oleh santri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun