Mohon tunggu...
Nurul Fajri
Nurul Fajri Mohon Tunggu... -

Tukang Ketik Naskah. Temui di www.eksistensiperempuan.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pak Nelayan, Apa Kabar? Negeri Kita Kaya Laut tapi Miskin Moral

19 April 2011   16:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:38 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

sejenak melirik dari hiruk pikuk sibuknya suasana kampus,
terkadang ku amati,
orang-orang sibuk berlalu lalang, berjalan cepat, duduk-duduk berkumpul, bercerita, bercanda, berdiskusi, membaca,
apa yang ada di benak kalian,
sungguh, aku penasaran...
ingin sekali ku tanyakan pada setiap yang lewat,
ingin aku sekedar bertanya dan menyapa,
apa kabar hari ini?
sibuk apa hingga berlari-lari kecil?
ahh, pasti aku dikatai gila.

melirik ke arah lain lagi, tiba-tiba terlintas sesuatu...
bayangan tentang pantai, merasakan percikan ombak di wajah,
suasana laut yang tak pernah tenang,
anak kecil berlarian,
beberapa pedagang asongan berlalu lalang,
dan beberapa kapal nelayan tertambat di sana, menemukan hatinya untuk berlabuh

di sana, ku kenal sesosok pak nelayan.
menggeluti pekerjaannya selama 21 tahun,
untuk petak wilayah yang menggantungkan hidupnya pada laut,
menghidupi seorang istri dan 5 anak dari hasil tangkapan setiap hari,
menyabung nyawa untuk menaklukkan ganasnya laut,
dan kembali dengan setangkup rupiah untuk hidup hingga esok hari,
kadang bisa makan, kadang tidak

di saat ombak meluapkan amarah, gulung gemulung ia menerjang
tak peduli paman nelayan ber-kabar apa,
maukah ia melaut hari ini, acuh saja sang ombak
dan perahu-perahu kecil pun terpaksa menepi
perahu-perahu pinjaman dari lintah darat,
ada-ada saja,
tapi ini, fakta

di saat musim penghujan tiba, laut seolah-olah ikut berontak
ada juga sang ibu angin kencang yang datang tanpa konfirmasi
langsung saja layar terkembang jadi pantang layar
gemulung ombak tertarik magnet hingga ia menjadi tak pernah tenang
dan pelaut, melayat nasib di musim penghujan tiba,
tapi ini realita,

tengkulak-tengkulak di mana-mana,
perahu mereka dijadikan alat untuk eksploitasi kemanusiaan,
menghambat paman nelayan sejahtera, makan sehari tak tentu,
dan keselamatan terancam,
tapi ini kongkrit

ah, lupa...
ada negara ternyata, ada hukum sebenarnya menyelimuti
ada tataran kenegaraan, dipimpin orang-orang hebat
bukan mereka yang ber-IPK jongkok
ah, sampai tak ingat...
ini negara yang lautnya lebih luas dibanding daratnya
laut dalamnya dipenuhi banyak biota laut
ada dinas-dinas yang kemudian mengatur
lebih hebat lagi,
negara ini sepertinya punya menteri dan jajarannya yang bertugas mengurus ini,

tapi, kok tak kelihatan ya?
atau mungkin saya yang tak banyak tahu ya?
atau bisa saja saya yang kurang peka dengan paman-paman nelayan yang pemberani ini?
ahh, saya yang rakyat biasa saja
lupa sekedar menyapa mereka,
apa lagi yang duduk di kursi empuk di gedung pencakar langit,
yang sibuk makan siang di restoran-restoran mahal setiap hari
yang asik berdebat tentang pembangunan kantor megah,
ber-seminar masalah kemiskinan di hotel-hotel bintang lima

ah, sesuatu yang bernama moral.
di mana kau di jual?
mahal kah harga mu?
atau kau menjadi langka kini?
pernah kah kau di lelang dan orang-orang ini memperebutkan?
ah, moral,,,aku rindu pada mu...
ku mohon, selamatkan paman nelayan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun