Harusnya proses pendidikan yang benar adalah bertujuan membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan. Hal ini juga berarti bahwa tugas utama pendidikan adalah menggali serta mengembangkan potensi “apa yang ada” bukan “apa yang harus ada” pada indifidu sehingga yang lahir bukan hasil rekaan atau paksaan melainkan bangunan indifidu yang kokoh dan memiliki identitas. Luar biasa Pater Drost, orang Batavia itu..
Semua komponen harus terlibat dalam proses pendidikan untuk memahami perbedaan-perbedaan yang dimiliki anak atau peserta didik. Orang tua, sekolah dan masyarakat hendaknya secara bijak melihat potensi anak didik serta memperlakukannya secara manusiawi.
Benar, bila tugas orang tua yaitu mempertimbangkan pendidikan, memilih yang terbaik untuk anak-anak, tetapi jauh lebih penting para orang tua mau menerima anak-anak apa adanya. Itu saja, nggak usah yang aneh-aneh..! kalau bahasa sederhana orang-orang tua dulu, kalau kau lihat anak-anakmu dari kecil punya hobi pegang obeng, tang dan utak-atik alat-alat eloktronik, masukkan ia ke STM, boleh pula di jurusan elektro. Amatilah sembari dialog kan pada anak-anak tentang hobi dan kegemarannya. Hess tahess, pokoknya gitulah.. amati saja anak masing-masing, jangan kau amati anak tetangga.. !
Memaksakan kehendak kepada anak dengan tidak mempertimbangkan bakat potensi yang dimiliki – sama halnya dengan melakukan pemerkosaan terhadap hak asasi anak didik. Jika perspektif realisme pendidikan yang dipakai maka ilustrasi di atas akan dapat mengurai paling tidak signifikansi kebebasan bagi anak didik dalam menentukan pilihan, utuh tanpa tereduksi. Dengan catatan, bukan kebebasan dalam arti liar melainkan kebebasan yang bertanggung jawab.
Bagi Freire, sistem pendidikan sebaliknya justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia. Kita pun tak hendak menutup mata betapa banyak anak didik kita dalam kondisi ‘keterasingannya’ masih tetap berharap-harap akan pendidikan yang ‘membebaskan’ mereka. Tentunya, kita juga berharap semoga ditindak lanjuti secara bijak oleh orang tua, seluruh komponen yang memiliki itikad baik dalam membangun dunia pendidikan.
Dan adapun Amin merupakan representasi dari mungkin masih banyak anak yang “dilahirkan” kemudian “ditinggalkan” orang tuanya.
Tulisan singkat ini hanyalah mengupas tentang makna kebebasan anak dalam menetukan pilihan yang masih kerap kita temui, tanpa analisa yang dalam, hanyalah sekedar urun rembug sembari belajar melihat dengan jeli segala permasalahan yang barangkali dianggap sederhana kemudian dari secuil ini coba dihadirkan.
Salam
GONG XI FA CAI