Mohon tunggu...
Nuya
Nuya Mohon Tunggu... Lainnya - nu'aim khayyad

Madridista dan penghafal ayat kursi..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Korbankan Anak Demi Cita-cita Orang Tua

8 Februari 2016   07:23 Diperbarui: 9 Februari 2016   17:43 717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="muharamrayen.blogspot.co.id"][/caption]Sudah seminggu Amin mengurung diri di kamar. Kegembiraan yang dirasakan teman-temannya karena baru lulus dari bangku SMU tidak tampak pada Amin. Dimata teman-temannya ia dikenal sebagai anak yang memiliki karakter suka bergaul dan selalu ramah pada siapapun. Namun semenjak orang tuanya tidak mengijinkan mengambil jurusan Ilmu Hukum  di perguruan tinggi yang menjadi pilihannya, saat itu pula Amin seolah tak memiliki gairah dan selalu menutup diri. Sesekali teman-temannya berkunjung menanyakan kabar, namun selalu tak dapat ditemui.

Perdebatan dengan orang tuanya minggu lalu rupanya telah mengubur dalam-dalam keinginan dan cita-citanya menjadi seorang Hakim yang telah lama ia idamkan. Orang tua menghendaki agar ia masuk Fakultas Kedokteran. Usulan itu kemudian ditolak Amin dengan alasan dan prinsipnya serta melihat bakat dan minatnya yang besar pada Ilmu Hukum. Kendati pada awal bersikukuh namun pada akhirnya Amin, luluh.  Dan dengan berat hati mengikuti keinginan orang tuanya.

Walhasil, dengan tertatih-tatih Amin hanya mampu menyelesaikan kuliah pada semester III – untuk kemudian ambruk.

Lain Amin lain Rina, anak semata wayang dari keluarga kaya. Dari kecil sudah nampak bakatnya dalam bidang seni tari. Pada awalnya, orang tua tidak menyetujui bila ia mengambil jurusan kesenian di sebuah perguruan tinggi dalam negeri. Namun, ketegasan Rina membuat luluh hati orang tuanya. Sang Ayah adalah seorang pemilik perusahaan besar di kota Surabaya.

Tak kehabisan akal, orang tua kemudian memanggil konsultan pendidikan. Berkat masukan-masukan dari sang Konsultan, Rina akhirnya mendapat rekomendasi dari sang Ayah untuk belajar ilmu seni. Tak tangung-tanggung,  di negeri Paman Sam tempatnya.  

Singka cerita, karena berprestasi, Rina kemudian dilirik salah satu Perusahaan ternama di Amrik. Dan tak membutuhkan waktu lama untuk Rina sampai pada deretan pimpinan Perusahaan itu. Rina sukses di sana..

Sangat berlawanan dengan kenyataan yang dialami Amin. Kendati kedua orang tua mereka sama-sama mampu, namun berpola pikir tak sama. Yang pertama cenderung “memaksa”, sementara yang kedua cenderung bijak dalam merespon keinginan dan bakat anak.  

Kalau dipikir-pikir memang, nggak akan ada orang tua berniat menjerumuskan anak. Tapi tanpa disadari, keinginan-keinginan mereka harus sejalan dengan anak. Mereka harus memaksa anak agar berkeinginan seperti orang tuanya. Kadang-kadang karena alasan gengsi, melihat anak tetangga sukses di bidangnya kemudian ikut-ikutan menyekolahkan anak di bidang itu. Padahal bakat dan keinginan bahkan otak anak – nggak nyampe alias pas-pasan.   

Saya pikir, ada benarnya apa yang disinyalir Pater Drost (lengkapnya Drs. Josephus Ignatius Gerardus Maria Drost, SJ), mengatakan bahwa kesalahan terbesar yang sering muncul ketika merespon perkembangan anak yakni kesalahan dalam pola asuh dalam keluarga. Kegagalan dalam pola asuh menurut Drost berarti juga gagalnya pendidikan dalam melahirkan generasi yang cerdas, aktif, kreatif mandiri dan dewasa.

Implikasi lebih jauh dari kegagalan tersebut, pada saatnya nanti anak-anak akan benar-benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi orang lain dan pada saat itulah akan lahir generasi baru manusia-manusia tolah toleh. Lebih parah lagi menurut Paulo Freire,  Jika diantara mereka ada yang menjadi guru atau pendidik, maka daur penindasan akan ditabuh, demikian terjadi seterusnya.

Dan, “status quo” pun akhirnya menemukan wadah terbaiknya.

Harusnya proses pendidikan yang benar adalah bertujuan membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan. Hal ini juga berarti bahwa tugas utama pendidikan adalah menggali serta mengembangkan potensi “apa yang ada” bukan “apa yang harus ada”  pada indifidu sehingga yang lahir bukan hasil rekaan atau paksaan melainkan bangunan indifidu yang kokoh dan memiliki identitas. Luar biasa Pater Drost, orang Batavia itu..

Semua komponen harus terlibat dalam proses pendidikan untuk memahami perbedaan-perbedaan yang dimiliki anak atau peserta didik. Orang tua, sekolah dan masyarakat hendaknya secara bijak melihat potensi anak didik serta memperlakukannya secara manusiawi.

Benar, bila tugas orang tua yaitu mempertimbangkan pendidikan, memilih yang terbaik  untuk anak-anak, tetapi jauh lebih penting para orang tua mau menerima anak-anak apa adanya. Itu saja, nggak usah yang aneh-aneh..! kalau bahasa sederhana orang-orang tua dulu, kalau kau lihat anak-anakmu dari kecil punya hobi pegang obeng, tang dan utak-atik alat-alat eloktronik, masukkan ia ke STM, boleh pula di jurusan elektro. Amatilah sembari dialog kan  pada anak-anak tentang hobi dan kegemarannya. Hess tahess, pokoknya gitulah.. amati saja anak masing-masing, jangan kau amati anak tetangga.. !

Memaksakan kehendak kepada anak dengan tidak mempertimbangkan bakat potensi yang dimiliki – sama halnya dengan melakukan pemerkosaan terhadap hak asasi anak didik. Jika perspektif realisme pendidikan yang dipakai maka ilustrasi di atas akan dapat mengurai paling tidak signifikansi kebebasan bagi anak didik dalam menentukan pilihan, utuh tanpa tereduksi. Dengan catatan, bukan kebebasan dalam arti liar melainkan kebebasan yang bertanggung jawab.

Bagi Freire, sistem pendidikan sebaliknya justru harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia. Kita pun tak hendak menutup mata betapa banyak anak didik kita dalam kondisi ‘keterasingannya’ masih tetap berharap-harap akan pendidikan yang ‘membebaskan’ mereka. Tentunya, kita juga berharap semoga ditindak lanjuti secara bijak oleh orang tua, seluruh komponen yang memiliki itikad baik dalam membangun dunia pendidikan.

Dan adapun Amin merupakan representasi dari mungkin masih banyak anak yang “dilahirkan” kemudian “ditinggalkan” orang tuanya.

Tulisan singkat ini hanyalah mengupas tentang makna kebebasan anak dalam menetukan pilihan yang masih kerap kita temui, tanpa analisa yang dalam, hanyalah sekedar urun rembug sembari belajar melihat dengan jeli segala permasalahan yang barangkali dianggap sederhana kemudian dari secuil ini coba dihadirkan.

Salam

GONG XI FA CAI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun