Mohon tunggu...
Membaca Menulis
Membaca Menulis Mohon Tunggu... lainnya -

MEMBACA DAN MENULIS UNTUK HARI ESOK YANG LEBIH BAIK. Mengembangkan literasi dan proses kreatif menulis.(Nuansa Cendekia Bandung)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sastra, Acep dan Tebu Ireng

7 Oktober 2011   01:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:15 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rangkaian roadshow Puisi dan Bulu Kuduk memasuki etape ke 2 di Ponpes Tebuireng - Jombang pada tanggal 23 Sept 2011. Acara terbagi 2 sesi : pagi dan siang.

Kelas creative writing Kopi Sareng

Sesi pagi hari diikuti sekitar 50 santri dan santriwati di kalangan internal Ponpes Tebuireng. Mereka tergabung dalam kelas creative writing dengan nama Kopi Sareng (KOmunitas PecInta SAstra tebuiRENG), yang diketuai oleh David Sugiarto, guru Bahasa Indonesia di Ponpes Tebuireng. Pada kegiatan kali ini, peserta mempunyai kesempatan langsung berdialog dengan Acep Zamzam Noor dan Lan Fang mengenai seputar proses kreatif penulisan. Tidak ketinggalan Mathori A Elwa, editor penerbit Nuansa Cendikia, juga memberikan kiat-kiat untuk menembus penerbit. Sebuah pernyataan menarik dari Mathori A Elwa bahwa nasib sebuah buku sampai bisa diterbitkan atau tidak, itu bukan  ditentukan oleh penerbit atau selera pasar. Tetapi ditentukan oleh Tuhan.

Dari kiri ke kanan : Acep Zamzam Noor, Chamim Khohari, Lan Fang

Sesi siang dihadiri sekitar 500 undangan dari kalangan pemda Jombang, kyai-kyai di Jombang dan sekitarnya, tokoh masyarakat, santri-santri dari Jombang dan sekitarnya, masyarakat umum lainnya.  Acara dibuka oleh Kyai Salahuddin Wahid, yang akrab disebut Gus Solah. Ia menyampaikan, dalam kesempatan baik itu, Ponpes Tebuireng sangat gembira bisa bekerjasama dengan berbagai pihak untuk mengadakan peluncuran untuk 3 buku sekaligus.

1. Buku Profil Tebuireng, yang didukung oleh Tjiwi Kimia. Buku ini memuat sejarah Ponpes Tebuireng sejak didirikan oleh Kyai Hasyim Asy'ari dan catatan perjalanan dari  masing-masing pengasuhnya sampai saat ini.

2. Buku Kyai Karim Hasyim, Kyai Sastrawan Yang Tak Dikenal. Buku ini adalah seri ke 3 dari buku seri kyai yang diterbitkan oleh Pustaka Tebuireng. Sebelumnya sudah ada buku Kyai Idris Kamali dan buku Kyai Choliq Hasyim. Dan yang sedang dalam proses adalah buku Ny. Hj. Khoiriyah Hasyim, buku Kyai Adlan Ali dan buku Gus Ishom.

Penerbitan seri kyai ini agar generasi muda bisa lebih mengenal kyai-kyai pendahulu, baik secara pribadi, sikap, pemikiran, perjalanan, karya dan teladan.

3. Buku Puisi dan Bulu Kuduk, yang ditulis oleh Acep Zamzam Noor, yang diterbitkan oleh Nuansa Cendikia. Gus Solah juga memperkenalkan Acep Zamzam Noor kepada para hadirin  sebagai putra Kyai Ilyas Ruhiyat, Rais Am PBNU yang bersama Gus Dur ketika menjadi Ketum PBNU, dari Ponpes Cipasung - Tasikmalaya. Jadi kegiatan peluncuran buku juga bisa dikatakan sebagai ajang silaturahmi bagi seluruh warga NU yang hadir.

Acep Zamzam Noor mengucapkan terimakasih kepada Ponpes Tebuireng dan semua hadirin sehingga buku Puisi dan Bulu Kuduk juga bisa menjadi salah satu dari 3 buku yang diluncurkan.

Ternyata animo dan respon peserta sangat luar biasa. Sesi tanya jawab berlangsung dialogis dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dari para peserta muda. Antara lain "kenapa Acep Zamzam Noor tidak menjadi gus atau kyai yang berdakwah saja melainkan menjadi seniman (penyair)?" "bagaimana pendapat Acep Zamzam Noor tentang kehidupan seniman yang konon katanya cenderung bebas dan semaunya?" "sampai sejauh mana puisi (karya sastra) bisa memberikan kontribusi bagi kehidupan sebagai bangsa dan negara"

Acep Zamzam Noor menyampaikan bahwa puisi juga bisa menjadi salah satu media dakwah. Hanya bedanya dalam puisi pesan (dakwah) yang disampaikan tidak dalam konteks hitam dan putih, tidak disampaikan dengan bahasa ini salah dan itu benar, ini boleh dan itu tidak boleh. Tetapi pesan dalam puisi disampaikan dalam bahasa yang simbol, metafora, retorika. Melalui puisi, orang diajak berdialog dengan dirinya sendiri.

Sedangkan kehidupan seniman juga sama dengan kehidupan orang lain pada umumnya. Seniman juga makan, minum, tidur, bekerja seperti biasanya. Mengenai sikap hidup, bila diibaratkan puisi maka ada  kata-kata yang menjadi puisi baik, menggugah semangat, menggetarkan, membuat jatuh cinta atau juga menjadi puisi yang buruk dan dilupakan. Begitu juga sikap hidup yang menjadi pilihan masing-masing orang. Yang membuatnya berbeda, siapa pun orang dan profesinya, ia adalah orang yang mau menghargai proses dan terus melalukan proses kreatif bagi kehidupan yang baik.

Sebuah karya sastra (puisi) bisa memberikan konstribusi pemikiran dan pandangan dalam kehidupan. Sebab penulis memiliki kepekaan lebih untuk melihat realitas masyarakat. Ia tidak langsung menyuarakannya dalam keadaan mentah-mentah, seperti orang-orang yang berdemo atau para politisi yang kampanye. Tetapi ia memprosesnya sampai bahkan bisa menghasilkan sebuah realitas baru bagi masa depan. Misalnya : sumpah pemuda, itu adalah sebuah puisi fenomenal yang futuristik.

Peserta peluncuran buku

Lan Fang mengatakan bahasa mencerminkan karakter seseorang bahkan sebuah bangsa. Bahasa yang dipakai seorang penyair tentu berbeda dengan bahasa yang diucapkan oleh politisi, misalnya. Bahasa penyair mengandung unsur-unsur reflektif dan komtemplatif sedangkan bahasa politisi cenderung bombastis dan provokatif.

Tetapi Lan Fang menyayangkan dan tidak habis pikir konteks berbangsa saat ini. Saat Sumpah Pemuda diucapkan 28 Oktober 1928 oleh para pemuda dari berbagai suku dan etnis. Mereka ada yang berasal dari Ambon, Batak, Sunda, keturunan Arab, keturunan Tionghoa dan mayoritas Jawa. Salah 1 item dari Sumpah Pemuda adalah : menjunjung tinggi bahasa persatuan Bahasa Indonesia.

Padahal saat itu, mayoritas terdiri dari pemuda Jawa, yang bisa saja kalo ingin "memaksakan" Bahasa Jawa sebagai bahasa persatuan. Tetapi dengan penuh semangat persatuan dan kesatuan, para pemuda berlainan etnis dan suku itu bisa mencapai kata sepakat untuk mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Ini membuktikan bahwa pemuda-pemuda di jaman 1928 adalah pemuda-pemuda yang berjiwa besar, tulus, bertoleransi, memiliki semangat nasionalisme, menginginkan persatuan dan kesatuan dan ingin membangun bangsa yang besar.

Pertanyaannya adalah, apakah karakter seperti itu masih dimiliki oleh pemuda-pemuda di jaman 2011 ini? Chamim Khohari selaku moderator menutup diskusi dengan sebuah kalimat yang sangat perlu : hidup seseorang akan lengkap bila ia sudah menulis atau ditulis. Acara ditutup dengan pemberian souvenir buku-buku dari penerbit Nuansa Cendikia kepada Gus Solah, Gus Hasyim Karim, dan direktur Tjiwi Kimia.

Terimakasih banyak kepada Ponpes Tebuireng, Tjiwi Kimia, Nuansa Cendikia, Pustaka Tebuireng dan Kopi Sareng. (Laporan panitia)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun