Apa yang perlu disoroti dalam Pembukaan UUD 1945 itu adalah perkataan “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang bukan sekadar mencerdaskan otak bangsa. “Mencerdaskan kehidupan bangsa” adalah konsepsi budaya, sedangkan “mencerdaskan otak” adalah konsepsi biologis-genetika. Berbagai penafsiran tentu saja dapat diberikan, termasuk penafsiran oleh para penyusun Pembukaan UUD 1945 itu sendiri. Dari seorang di antara mereka ini, dapat dikemukakan di sini, bahwa “mencerdaskan kehidupan” dimaksudkan sebagai upaya membentuk dignity, membentuk bangsa ini sebagai bangsa yang dignified.
Kehidupan yang cerdas adalah, suatu kehidupan penuh percaya-diri, dengan individualita dan personalita, disertai dengan kepribadian atau karakter yang kuat, yaitu kehidupan yang tidak mencerminkan rendah-diri atau minder, tidak mencerminkan sikap hidup “batur” (obah apabila ditutur), yang ujung-ujungnya menjadikan bangsa kita tidak “inlander” lagi.
Dengan demikian, usaha untuk mencapai kehidupan yang cerdas berbeda dengan sekadar usaha mencapai otak yang cerdas, baik di dalam dimensi maupun metode. Tentu yang pertama lebih luas jangkauannya daripada yang kedua.
Seperti dikemukakan di atas, sejak semula Proklamasi Kemerdekaan sudah berorientasi pada pembangunan manusia atau sumber insani manusia (human resource development). Pembangunan manusia ini merupakan titik sentral dalam usaha pembangunan nasional kita. Oleh karena itu pulalah maka ketahanan nasional Indonesia juga berorientasi pada manusia Indonesia: “… Ketahanan nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan Bangsa dan Negara …”. Human resource development adalah upaya membentuk human capital menjadi social-capital yang lebih tangguh. Kewiraswastaan atau entrepreneurship adalah suatu kualitas unggul yang dikandung oleh human capital dan social-capital itu.
Banyak pihak yang kurang yakin bahwa kewiraswastaan dapat diajarkan melalui usaha-usaha pendidikan. Mereka yang berpendapat ini bertitik-tolak dari suatu keyakinan bahwa entrepreneurship adalah suatu properti budaya dan sikap mental, oleh karena itu bersifat behavioral. Seseorang menjadi entrepreneur karena diyakini dari asalnya memang sudah demikian.
Dengan kata lain, ia menjadi entrepreneur karena ia dibesarkan di lingkungan tertentu, memperoleh nilai-nilai budaya tertentu pula dari kalangan terdekatnya semenjak ia mampu menerima proses sosialisasi sebagai proses alamiah, khususnya dari orangtuanya. Jadi pendidikan formal (sebagai suatu proses intervensi terencana dan terkendali yang kita kenal sehari-hari ini) untuk membentuk entrepreneur, tidak mereka yakini. Mereka ini hanya yakin pada proses alamiah itu. Tentu kedua pendekatan itu ada benarnya.
Ada yang lebih ekstrem lagi, misalnya dikatakan bahwa entrepreneur adalah khas berasal-usul dari bakat keturunan, atau suatu in-born quality. Di Indonesia, pendapat ekstrem ini dianggap tidak ilmiah, kolot dan kadang-kadang dinyatakan sebagai tendensius secara sosial-politis. Kualitas entrepreneurship bukan suatu in-born quality. Tetapi fakta-fakta yang ada tidak selalu demikian, bahkan sering sebaliknya.
Kekurangpercayaan mereka kepada pendidikan entrepreneurship adalah ketidakyakinan mereka bahwa pendidikan mengubah sikap dan tingkah laku adalah sesuatu keniscayaan. Mereka ini tidak sadar bahwa pada hakikatnya semua pendidikan adalah bertujuan mengubah sikap dan tingkah laku, pendidikan apa saja. Mereka lupa bahwa perubahan sikap dan tingkah laku inilah yang justru menjadi tolok-ukur keberhasilan dari setiap pendidikan.
Entrepreneurship Indonesia yang belum memadai, bahkan mungkin kualitas itu inferior atau belum bermutu tinggi, masih merupakan pendapat umum. Seperti halnya tingkat kecerdasan kehidupan atau ciri-ciri manusia Indonesia, misalnya: Masih tidak achievement oriented tetapi status oriented, apatis (tidak ingin berubah nasib), berorientasi pada masa lalu, menggantungkan diri pada nasib, konformis (takut menerobos pakem usang), berorientasi pada atasan, meremehkan mutu dan suka nerabas (tidak teliti dan sistematik), tidak percaya pada diri sendiri, tidak berdisiplin, suka mengabaikan tanggung jawab, munafik, feodal, percaya pada tahayul, berwatak lemah (terutama lemah terhadap uang), tidak hemat (boros), kurang ulet, terlalu fleksibel, hidup manja (santai), kurang inovatif, kurang waspada (gampang merasa aman), suka sok kuasa (haus kekuasaan), mencampuradukkan kepentingan pribadi dengan kepentingan umum (formal/informal dicampuradukkan), mengemban sikap hidup miskin. (Dikemukakan antara lain oleh Koenjtaraningrat, Mochtar Loebis, Meutia Hatta, dll).
Oleh karena itu diperlukan motivator, pendidik dan penggerak,-sebagaimana dilakukan Kiai Fuad,- untuk menumbuhkan entrepreneurial spirit pada masyarakat. Gambaran mengenai wiraswasta pada umumnya mendapat kesepakatan dalam hal antara lain:
Dimilikinya kualitas manusia, sikap dan tingkah laku unggul, ada kemauan keras mencapai prestasi kehidupan luar biasa untuk merubah nasib. Manusia atau masyarakat yang entrepreneurial unggul memiliki “tenaga dalam” secara sendiri-sendiri atau secara kolektif, seperti kreatif, inovatif, dimilikinya originalitas, berani mengambil risiko, berorientasi ke depan dan mengutamakan prestasi, tahan uji, tekun, tidak gampang patah semangat (tidak cengeng), bersemangat tinggi, memiliki seribu akal, berdisiplin baja, dan teguh dalam pendirian.