Tentu bukan saat yang baik untuk membicarakan sunatan massal ketika DPR sedang sibuk memproduksi sebanyak mungkin bencana nasional. Tapi kita perlu membicarakannya, agar setidaknya bisa sejenak beralih dari saluran Metro TV dan TV One yang menangguk untung dari penderitaan para penonton yang menyesal sudah capek-capek antri dan memilih di TPS-TPS.
Belum ditemukan bukti sejarah yang sahih untuk mengatakan kapan budaya sunatan massal dimulai. Sejarah hanya mencatat bahwa budaya menyunat anggaran sudah ada di zaman Orde Baru, tapi waktu itu masih sangat primitif karena yang dipotong hanya 30%. Sunatan anggaran hari ini sulit digambarkan karena bentuknya sangat kreatif dan besarnya bervariasi dari 30% hingga 100%.
Untunglah mantri sunatan massal tidak berkembang sepesat penyunat anggaran, hingga sebagian besar suami masih berfungsi seperti biasa. Kita patut berterima kasih bahwa dunia kedokteran belum banyak bereksperimen tentang sunatan ini, hingga yang dipotong tidak lebih dari kulit yang memang perlu dibuang. Mungkin selama ini fakultas kedokteran masih kekurangan dana untuk penelitian, sebelum terselamatkan oleh sistem pendidikan tinggi yang benar-benar “jer basuki mawa bea” (baca: untuk pintar harus lahir dari ortu konglomerat atau penyunat anggaran - red) seperti yang baru diterapkan pemerintah di beberapa tahun terakhir.
Dalam sunatan massal dulu pernah terjadi gerakan nasional peningkatan efisiensi. Dalam dekade 1970-an, sebagian besar anak-anak di Ngawi disunat di usia SMTP-SMTA. Para mantri sunat tentu punya kesulitan khusus menghadapi wortel-wortel yang sudah mulai besar dan alot. Walaupun mereka tidak (mampu) menyewa jasa makelar demonstran seperti lazimnya hari ini untuk menggolkan tujuan tertentu, di tahun 80-an usia sunat sudah turun drastis ke usia SD. Saya belum jadi mantri sunat waktu itu, sehingga saya tidak terlalu peduli metode apa yang mereka gunakan untuk provokasi dan agitasi.
Tak perlu diragukan lagi bahwa ide efisiensi tersebut tidak akan laku di ranah sunatan anggaran, karena di situ obyek makin besar makin bagus, makin alot tidak masalah karena metode sudah makin dipertajam. Saking tajamnya, Menteri Keuangan pun bisa diusir jauh-jauh ke Bank Dunia.
Ada juga sedikit hal di mana para mantri sunat menunjukkan giginya dalam persaingan dengan para penyunat anggaran. Hari ini sudah ada metode sunat dengan metode cincin, flash cutting, electric cutting dsb. Tapi semua metode ini masih berkutat dengan obyek di dalam celana.
Saya khawatir pembicaraan tentang sunat ini harus kita hentikan, karena sungguh menakutkan kalau para anggota dewan mendapat inspirasi untuk mendepak Menteri Kesehatan dengan alasan yang dikembangkan dari sunatan massal. Nasib Bu Endang RS tentu tidak akan sebaik Bu Sri Mulyani, karena posisi yang dipunyai Amerika untuk dokter hanya di bank sperma.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H