ANTARA PENGUNGSI ROHINGYA DAN PENGUNGSI SINABUNG! DILEMA “PEMIMPIN” LOKAL
Dr. Ir. Nuah P. Tarigan., MA
Ketua Departemen SDM dan Luar Negeri – Himpunan Masyarakat Karo Indonesia (HMKI)
Dosen Character Building – Binus University, Jakarta, Pengamat Sosial dan Kemanusiaan dan Aktivis Disabilitas dan Kusta
[caption caption="TANAH KARO"][/caption]
Mendengar begitu banyak keluh kesah yang tiada henti dari pengungsi Sinabung, yang sering tidak terdengar baik oleh para penguasa dan pemangku kepentingan rakyat lokal membuat banyak kelompok-kelompok yang ada diluar kekuasaan menjadi sangat marah, kepedulian yang seharusnya tercermin dari tindakan yang dapat dirasakan oleh para pengungsi Sinabung sampai saat ini belum juga terjawab dengan baik, perumahan yang disediakan oleh pemegang kekuasaan lokal dan semua yang terlibat belum menjawab semua, rumah yang dibangun di Siosar ternyata tidak layak untuk ditempati, hanya dua orang saja penghuni di lokasi tersebut, itupun tidak tinggal disana, untuk apa? Bangunan dibangun dengan sia-sia karena drainage tidak ada, serta sarana prasarana yang tidak memenuhi syarat-syarat keamanan umum, seperti tangga yang rusak, dan tidak dapat dinaiki dan turun dari tangga tersebut, dari semua yang diungkap diatas secara singkat, kami menangkap ada satu permasalahan kepemimpian lokal di Tanah Karo. Tidak didengarnya jeritan dari rakyat Karo yang sedang mengalami permasalahan dengan baik, menghasilkan “produk” bantuan dan pemberdayaan yang tidak menyentuh ke relung hati, pikiran dan secara fisik. Kecurigaan yang semakin besar menumpuk pada “stakeholders” dan komunitas berdaya di seluruh Indonesia membangun suatu opini negatif terhadap kepemimpinan lokal.
Pandangan kami sebagai yang berkutat pada isu-isu yang berhubungan dengan sumber daya manusia Indonesia dan kepemimpinan, melihat bahwa perubahan paradigma dalam konteks kepemimpinan yang bekerja sangat penting, pemerintahan Jokowi sudah menerapkan dalam konteks nasional, namun tidak ditangkap dengan baik kepemimpinan lokal, dimana kesalahannya? Apakah karena desentralisasi yang meraja-lela atau karena soal mentalitas? Atau masalah kompetensi? Lihat perbedaannya dengan isu Rohingya yang tanpa sulit kita dapat memberikan tempat yang layak bagi mereka yang datang dari luar Indonesia namun bagi pengungsi “domestik” yaitu Suku Batak Karo atau sering disebut Karo saja, tidak dilayani dengan baik, bahkan oleh para “pemimpin” lokal dengan baik, apakah harus dengan paksaan terlebih dahulu dari pemerintah pusat dan rakyat baru ada terjadi perubahan yang signifikan? Dimana rasa dan semangat Pancasilais yang sering kita dengung-dengungkan dan kita gantung dalam ruang kamar kerja kita serta kita hafal dengan baik! Namun nol dalam aksi nyatanya, sangat memrpihatinkan, bagaimana BNPB bekerja secara efektif dan pusat memberikan dukungan yang prima serta efektif jika “pemimpin lokal” hanya berdiam diri dan tidak peduli sama sekali dengan tekanan psikis, fisik dan yang terutama persamaan Hak mereka dalam hidup? Atau memang pemerintah lokal ingin menghabiskan mereka dengan perlahan-lahan? Atau memang ada lagi agenda tersembunyi pada penguasa dan pengusaha? Kami memertanyakan sikap kepemimpinan macam apa yang dikembangkan di Tanah Karo saat ini? Memang Pilkadasung akan berlangsung pada tanggal 9 Desember yang akan datang, namun apakah pengungsi harus menunggu sampai tanggal tersebut, selama 6 bulan lagi dari sekarang dan mereka terus hidup tanpa daya dan akhirnya bergantung pada orang lain? Mengerikan cara berfikir pemimpin seperti ini, satu jeritan yang kami rekam dapat disampaikan sebagai berikut, semoga ini menjadi bahan pemikiran yang dapat kita bangun menuju masyarakat pengungsi yang lebih berdaya, fokus pada pengungsi dan bukan yang lain dahulu.
Ditengah berkecamuknya gunung Sinabung,
Ditengah bergoncangnya Tanah Karo Simalem,
Banyak terjadi peristiwa,
Dibawah kaki langit yang perkasa ditengah rimbun dedaunan
Memutih
Memendar
Berubah menjadi sesuatu yang tidak dikenal sebelumnya
Kampung berubah
Suasana berubah
Seakan semua diubah menjadi sesuatu yang tidak kami kenal sebelumnya
Lama peristiwa, sudah bertahun kami tanpa rumah, tanpa tanah, hidup dari tenda ke tenda, dari rumah ke rumah
Martabat kami menghilang tak membekas
Ibarat hewan melata hidup diantara pepohonan yang tak kami kenal
sementara diatas sana yang seharusnya mereka peduli
Mereka hanya datang seketika
Kami hargai kepeduliannya
Kami hargai perhatiannya
Namun kami membutuhkan tempat
Namun kami membutuhkan harga diri
Kami membutuhkan menjadikan kami manusia
Manusia yang punya harkat
Sang penguasa Lokal
Berhenti berwacana
Berhenti diam
Jangan ambil untung atas penderitaan kami
Jangan ambil puji manusia atas penderitaan kami
Berikan yang terbaik jika itu terbaik dan bukan mencari keuntungan pribadi anda – untuk jabatan politik dan kebanggan lain!
Biarkan Asa terus ada diantara kami
Diantara kaum anak-anak, perempuan, yang disabilitas, dan yang lansia, semuanya…
Pedulilah bukan sekedar simpati tapi empati
Rasakan jika anda menjadi kami
Rasakan jika anda menjadi anak-anak pengungsi
Rasakan jika anda menjadi kaum perempuan
Rasakan jika anda menjadi kaum disabilitas
Rasakan jika anda menjadi kaum lansia
Rasakan anda jika kaum Bapak atau Ibu di tenda ini
Kami diam kami menunggu kami berdoa kiranya anda berubah…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H