Mohon tunggu...
Nurul Larasati
Nurul Larasati Mohon Tunggu... -

Istri/Dokter umum/FKUI 2005

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mungkin di 2050

9 Januari 2013   14:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:20 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru saja beberapa bulan di kota seberang Pulau Jawa, sudah banyak pikiran berseliweran di kepala saya dan beberapa teman-teman dari Jakarta. Ya, namanya juga dari kota besar… pindah ke kota kecil pasti ada saja yang dikomentari. Namun demikian, yang menjadi komentar saya bukanlah tidak adanya toko sushi di sini atau Burger King atau mall dan lain sebagainya, tapi justru kebutuhan hidup dasar yang sewajarnya. Dulu saya selalu tertarik untuk merasakan tinggal di “pedalaman”, apalagi nama Kalimantan sudah sering keluar dari mulut saya. Dan terjadilah. :D Dulu terbayang oleh saya begitu menyenangkannya hidup bersusah-susah dan penuh tantangan. Apalagi mendengar cerita-cerita dari kakak-kakak kelas yang pernah mengikuti program dokter PTT di pedalaman. Sungguh menggiurkan. Tapi memang benar, rumah sakit di sini jauh dari apa yang biasa saya lihat di Jakarta. Terlebih ketika di Jakarta rumah sakit yang saya “tempati” adalah rumah sakit rujukan NASIONAL. Sementok-sementoknya rumah sakit, ya itu dia. Namun bukan itu yang mau dibahas, tapi kebutuhan hidup dasar yang belum wajar itu. Indonesia sudah merdeka dari penjajah luar negeri selama hampir 67 tahun. Lumayan tua lah. Tapi setelah saya sampai di Kalimantan, lebih tepatnya di kota Singkawang, saya tidak merasakan adanya per-adab-an. Orang pasti bilang, “Ya namanya juga di pedalaman, what do you expect?”. How can that statement be rationalized? Apakah wajar kalau di pedalaman pendidikan tidak sebagus di kota? Apakah wajar kalau di pedalaman air tidak sebersih di kota? Apakah wajar kalau di pedalaman listrik tidak secemerlang di kota? Apakah wajar hal-hal yang menyangkut kebutuhan dasar manusia tidak diberikan selayaknya ketika mereka yang memimpin sering bertandang ke Jakarta dan merasakan nikmatnya hidup dengan air bersih, listrik yang tidak selalu padam, dll? Dimana adabnya? These are basic human needs and rights. Mungkin masyarakat setempat yang hanya tau lingkungan sekitar tidak banyak menuntut, tapi sewajarnya kebaikan itu tidak perlu dituntut. [caption id="attachment_234651" align="aligncenter" width="300" caption="Air bak di rumah sakit saya bekerja (Singkawang, Kalimantan Barat)."][/caption] Saya tidak menuntut Singkawang atau kota-kota kecil lainnya bahkan dusun sekalipun dijadikan seperti kota besar Jakarta. Jakarta pun bukan contoh kota yang paling baik. Tapi saya melihat semua manusia sebenarnya punya hak dan kesempatan yang sama untuk hidup layak. Selain semuanya balik kepada usaha diri sendiri, ada pula andil orang-orang pemerintahan yang harusnya bantu merealisasikan itu semua. Dulu saya pernah bilang ke salah satu warga bahwa akan lebih enak sepertinya kalau Singkawang punya Bandar udara sendiri seperti Pontianak, apalagi lahan sudah ada. Bapak itu bilang kalau sebenarnya memang sudah mau dibangun tapi entah bagaimana ceritanya tidak dilanjutkan karena alasan politik seperti, salah satunya, kota Pontianak akan “mati” karena Singkawang adalah kota pariwisata. Apakah mungkin sama juga dasar alasannya untuk hal-hal di atas? Alasan dulu saya berpikir akan menyenangkan dan penuh tantangan hidup di pedalaman adalah karena dalam keadaan yang serba tidak memadai, kita yang nota bene dikirim dari tempat yang lebih maju dan dengan tingkat pengetahuan lebih banyak dituntut untuk membuat yang terlihat tidak mungkin untuk menjadi mungkin. Dan ternyata jadilah! Apakah itu tidak dirasakan juga oleh mereka yang “lebih tau” untuk berbagi kenikmatan “ternyata bisa” itu? Kita sudah di tahun 2012. Orang-orang ini mungkin baru akan melihat tahun 2012 mereka beberapa puluh tahun lagi. Itu pun jika pemerintah peduli.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun