Kekuasaan dan pendidikan menjadi topik yang menarik dalam diskusi mahasiswa. Saya menyaksikan diskusi tersebut dalam mata kuliah filsafat, dengan subtopik berjudul kekuasaan dan pendidikan. Suasana diskusi memang sangat hidup, namun saya mengingatkan agar argumen yang diajukan didasarkan pada teori dan data empiris melalui riset ilmiah, sehingga terhindar dari opini yang tidak berdasar. Kekuasaan memiliki sejarah panjang yang bisa menciptakan kondisi yang kacau, seperti yang dijelaskan oleh mahasiswa saya.
Kekuasaan selalu melahirkan wacana yang mengundang pemikiran mendalam, karena kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kenikmatan jabatan dan menjadi medan persaingan. Begitu seseorang meraihnya, mereka sulit untuk melepaskannya dan tak jarang menjadi tiran.
Seperti kata pepatah, jangan serahkan kekuasaan yang tidak terbatas itu kepada siapa pun, apalagi kepada suami. Karena siapa saja bisa menjadi tiran jika memiliki kekuasaan yang besar.
Karena itu, kekuasaan perlu diimbangi dengan pendidikan. Pendidikan diharapkan dapat menghasilkan manusia yang bijak, dan kebijaksanaan tersebut menjadi kontrol atas penyalahgunaan kekuasaan.
Mahasiswa saya juga mengangkat isu tentang intervensi kekuasaan, seperti dugaan kecurangan dalam pemilihan rektor UNM, yang menyebabkan pembatalan proses Pilrek UNM lanjutan yang semula dijadwalkan pada Kamis (7 Maret 2024), yang diduga menunggu hasil investigasi dari Inspektorat Jenderal Kementerian. Beberapa pemilihan rektor di PTN sebelumnya telah dibatalkan oleh Kementerian, seperti yang terjadi pada UNS. Pemilihan rektor UNS dibatalkan oleh Menteri, dan jika ditemukan pelanggaran atau kesalahan oleh calon rektor terpilih, proses tersebut akan dibatalkan, dan pemilihan diulang. Kementerian juga dapat mengambil alih proses pemilihan tersebut (https://edunews.id/).
Fenomena yang menarik dalam diskusi ini adalah bagaimana kekuasaan berhubungan dengan munculnya domestifikasi dan stupidifikasi dalam dunia pendidikan. Lalu, apa yang dimaksud dengan domestifikasi itu?
KEKUASAAN DAN PENDIDIKAN
Secara teoretis, kekuasaan biasanya dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu kekuasaan organik dan kekuasaan mekanik. Dalam pandangan pertama, teori organik, seperti yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles, sedangkan dalam teori mekanik, seperti yang ada dalam teori kontrak sosial. Dalam teori organik, kekuasaan dipandang sebagai lembaga etis yang bertujuan moral. Teori organik beranggapan bahwa kesatuan politik, seperti negara, adalah suatu tuntutan alami bagi manusia untuk berasosiasi dengan orang lain. Sebagai makhluk rasional, manusia menyadari bahwa kekuasaan memungkinkan hidup mereka menjadi lebih mungkin dan bermanfaat. Kesatuan moral atau sosial tercapai melalui kehendak kolektif untuk berinteraksi dan berfungsi sebagai anggota masyarakat. Sebaliknya, pandangan mekanistik cenderung mengabaikan sifat sosial manusia dan melihat kekuasaan sebagai lembaga buatan yang dibentuk berdasarkan kebutuhan individu.
Pendidikan dalam masyarakat modern, termasuk di Indonesia, kini telah menjadi isu publik. Dalam masyarakat modern, pendidikan bukan lagi urusan keluarga semata, tetapi telah menjadi arena perdebatan antara partai politik dan akademisi yang peduli terhadap kemajuan pendidikan suatu bangsa. Proses pendidikan sejatinya adalah proses pembebasan yang memberikan kemampuan kemandirian atau memberikan kekuasaan pada individu untuk menjadi pribadi yang mandiri. Pemberian kekuasaan ini, atau pemberdayaan (empowerment), merupakan ciri khas pendidikan transformatif. Proses individualisasi hanya dapat terjadi melalui partisipasi dalam kehidupan masyarakat yang berbudaya.
RELASI ANTARA KEKUASAAN DAN PENDIDIKAN