Narasi setelah Pilkada membuncah ke langit publik.  Kalau  jagonya  kalah,  maka menggema teriakan "pemilu curang.  namun, bila  menang, diam membisu seribu bahasa. Puja puji mengalir kepada sang rakyat yang hanya menjadi obyek penderita, mendapat predikat dadakan "rakyat memang pintar, begitu juga sebaliknya, kalau aduannya kalah rakyat disebut  bodoh atau miskin.  Apakah ini sehat untuk demokrasi?  Tak bisa kita menjawabnya, " namun teman saya berkomentar gamblang, " Jangan terlalu terpancing emosi oleh kata-kata politikus, mereka seringkali lebih pandai bermanuver daripada mewujudkan janji-janji."Â
Kita saksikan dua fenomena, yakni  (1)  pemerintah menjadi tertuduh,  berbuat kecurangan, (2) Kalau menang  di satu wilayah , aman, tidak ada tuduhan curang, (3) tuduhan juga mengarah ke lembaga negara semacam polisi , dikatakan memihak, atau  parcok, atau partai coklat.  Ada seruan, bahwa Polisi diminta untuk berada di bawah TNI tepatnya bergabung dengan TNI. Politik menjadi entertaiment yang mujarab , llagi teman saya berkata,  Jangan terlalu percaya pada politisi yang terlalu sering mengucapkan kata-kata manis, mungkin saja itu hanya gula untuk menutupi kepahitannya."Â
Menuduh, terjadi kecurangan,  tidak siap kalah maupun tidak siap memang.  Selalu membuat atmosfer gaduh. Sifat legowo, menjadi sangat jauh.  Mengapa demikian?  Sulit mencari jawabannya. Padahal,  banyak pihak , menyebutkan pilkada berlangsung sukses, di seluruh Indonesia pilkada  bagus. Damai. Masyarakat tidak protes. Artinya,  rayat adem, karena yang rakyat butuhkan lapangan pekerjaan, harga tidak naik, rumah sakit gratis, pendidikan gratis, jalan mulus, listrik tidak jarang mati. namun itu kerap ada di janji kampanye.Â
Lalu teman saya berkata lagi, " Â Sebuah negara tidak akan maju jika politikusnya hanya pandai meributkan urusan pribadi. Politik adalah bisnis yang sangat menguntungkan, terutama bagi mereka yang pandai memainkan intrik dan tipu daya."
Apakah demokrasi kita sakit atau perlukah pendidikan demokrasi itu diadakan?  Sehingga mengkaji bagaimana pendidikan demokratis dikonsepsikan dalam kajian pendidikan. Apakah politik uang memang benar terjadi?  Apakah demokrasi pancasila itu masih erat  dipegang atau memang kita lari ke barat masuk ke zona Neoliberalisme? Memang sulit menjawabnya.  namun teman saya lagi berkata" Politikus yang terlalu lama di kursi kekuasaan seringkali lupa bahwa kursi itu hanya pinjaman dari rakyat."Â
DEMOKRASI PANCASILAÂ
Kita perlu tahu apakah yang dimaksud dengan demokrasi pancasila. Secara garis besar Demokrasi Pancasila adalah sistem pemerintahan yang berlandaskan pada Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Demokrasi ini memiliki ciri khas yang membedakannya dari sistem demokrasi lain, terutama karena mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam pelaksanaan politik dan kehidupan berbangsa. Demokrasi Pancasila mengedepankan musyawarah untuk mufakat, keadilan sosial, dan penghargaan terhadap hak asasi manusia. Berikut adalah beberapa aspek utama dari demokrasi Pancasila:
Pancasila Sebagai Dasar Demokrasi: Pancasila, yang terdiri dari lima sila, menjadi dasar dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Setiap sila mencerminkan prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan persatuan.
Musyawarah untuk Mufakat: Salah satu ciri khas demokrasi Pancasila adalah musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam sistem ini, pengambilan keputusan dilakukan melalui diskusi dan kesepakatan bersama, bukan melalui suara terbanyak semata. Ini bertujuan untuk mencapai konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak.
Keadilan Sosial: Demokrasi Pancasila menekankan pentingnya kesejahteraan rakyat secara merata dan menghindari ketimpangan sosial. Pemerintah harus berperan dalam menciptakan keadilan sosial, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, maupun kesejahteraan sosial lainnya.