Biodiesel, sebagai biofuel yang ramah lingkungan dan terbarukan yang diperoleh dari sumber organik, telah terbukti menjadi alternatif yang layak dan berkelanjutan untuk bahan bakar diesel konvensional. Berbagai studi mendalam telah dilakukan untuk menilai pengaruh biodiesel pada mesin pembakaran dalam (ICE), dengan fokus utama pada kinerja mesin diesel, dinamika pembakaran, dan profil emisi. Penggunaan biodiesel terbukti mengurangi emisi partikel (PM), hidrokarbon (HC), dan karbon monoksida (CO) secara signifikan pada mesin diesel. Namun, penambahan biodiesel menyebabkan penurunan kecil dalam daya mesin dan sedikit peningkatan dalam konsumsi bahan bakar serta emisi oksida nitrogen (NOx). Meskipun biodiesel memiliki potensi besar untuk mengurangi emisi berbahaya, adopsinya secara luas masih terhambat oleh faktor eksternal, seperti terbatasnya ketersediaan bahan baku, fluktuasi harga minyak bumi yang tidak menentu, serta kurangnya dukungan kebijakan dari pemerintah.
.
Sejarah penggunaan biodiesel sebagai bahan bakar bermula pada tahun 1853, ketika J. Patrick dan E. Duffy pertama kali melakukan transesterifikasi minyak nabati, jauh sebelum Rudolf Diesel mengembangkan mesin diesel. Mesin Diesel, yang awalnya dirancang untuk minyak mineral, berhasil berjalan menggunakan minyak kacang tanah pada Exposisi Paris 1900, yang menyoroti potensi minyak nabati sebagai bahan bakar alternatif. Penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar kembali menarik perhatian pada masa-masa kekurangan sumber daya, seperti saat Perang Dunia II. Namun, masalah seperti viskositas tinggi dan pembentukan endapan pada mesin menjadi hambatan. Biodiesel dalam bentuk modern mulai berkembang pada 1930-an, ketika ditemukan cara untuk mengolah minyak nabati menjadi bahan bakar, yang kemudian menjadi dasar produksi biodiesel yang kita kenal sekarang.
Sifat fisik dan kimia biodiesel dapat berbeda-beda tergantung pada bahan baku dan cara pembuatannya. Dewan Biodiesel Nasional AS mendefinisikan biodiesel sebagai mono-alkil ester. Biodiesel telah diuji dalam lokomotif kereta api dan pembangkit listrik. Secara umum, biodiesel memiliki titik didih dan titik nyala yang lebih tinggi dibandingkan diesel fosil, sedikit larut dalam air, dan memiliki sifat pelumas yang khas. Nilai kalori biodiesel sekitar 9% lebih rendah daripada diesel konvensional, yang mempengaruhi efisiensi bahan bakar. Seiring waktu, produksi biodiesel berkembang dari penggunaan minyak nabati secara langsung ke proses yang lebih canggih seperti transesterifikasi, yang mengurangi viskositas dan meningkatkan kualitas pembakaran. Selain itu, produksi biodiesel menghasilkan gliserol sebagai produk sampingan, yang memiliki berbagai aplikasi komersial.
Biodiesel paling banyak digunakan dalam sektor transportasi. Upaya telah dilakukan untuk menjadikannya sebagai biofuel yang dapat langsung digunakan (drop-in), yang kompatibel dengan mesin diesel dan infrastruktur distribusi yang ada. Namun, biodiesel umumnya dicampur dengan diesel berbasis minyak bumi, biasanya tidak lebih dari 10%, karena kebanyakan mesin diesel tidak dapat beroperasi dengan biodiesel murni tanpa modifikasi. Persentase campuran biodiesel diindikasikan dengan faktor "B". B100 menunjukkan biodiesel murni, sementara campuran seperti B20 mengandung 20% biodiesel dan 80% diesel fosil. Campuran ini memberikan keseimbangan antara keuntungan lingkungan dari biodiesel dan kinerja bahan bakar diesel konvensional. Biodiesel juga dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk pemanas.
Dampak lingkungan biodiesel cukup kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis bahan baku, perubahan penggunaan lahan, dan cara produksinya. Meskipun biodiesel berpotensi mengurangi emisi gas rumah kaca dibandingkan bahan bakar fosil, ada kekhawatiran terkait perubahan penggunaan lahan, deforestasi, dan perdebatan tentang pangan versus bahan bakar. Perdebatan ini berfokus pada dampak produksi biodiesel terhadap harga dan ketersediaan pangan serta jejak karbon secara keseluruhan. Walaupun ada tantangan-tantangan ini, biodiesel tetap menjadi bagian penting dari strategi global untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan memitigasi dampak perubahan iklim.
Campuran biodiesel dengan diesel berbasis hidrokarbon konvensional umumnya digunakan di pasar bahan bakar diesel eceran. Di banyak negara, sistem yang dikenal dengan istilah "faktor B" digunakan untuk menunjukkan kandungan biodiesel dalam suatu campuran bahan bakar:
- Biodiesel 100% dikenal sebagai B100
- Campuran 20% biodiesel dan 80% diesel disebut B20
- Campuran 10% biodiesel dan 90% diesel disebut B10
- Campuran 7% biodiesel dan 93% diesel disebut B7
- Campuran 5% biodiesel dan 95% diesel disebut B5
- Campuran 2% biodiesel dan 98% diesel disebut B2
Campuran biodiesel dengan kadar hingga 20% atau lebih rendah umumnya dapat digunakan pada peralatan diesel tanpa memerlukan modifikasi signifikan, atau hanya membutuhkan perubahan kecil, meskipun beberapa produsen tidak memberikan jaminan jika peralatan rusak akibat penggunaan campuran tersebut. Campuran B6 hingga B20 diatur dalam spesifikasi ASTM D7467. Biodiesel juga dapat digunakan dalam bentuk murninya (B100), tetapi mungkin memerlukan modifikasi mesin untuk menghindari masalah terkait pemeliharaan dan kinerja.Proses pencampuran B100 dengan diesel petroleum dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut:
- Pencampuran di tangki di lokasi produksi sebelum bahan bakar dikirim ke truk tangki
- Pencampuran semprot di truk tangki (dengan menambahkan persentase biodiesel dan diesel sesuai proporsi tertentu)
- Pencampuran inline, di mana kedua komponen tiba di truk tangki secara bersamaan
- Pencampuran menggunakan pompa meteran, di mana meteran untuk diesel petroleum dan biodiesel diatur untuk volume total yang diinginkan.
SEJARAH BIODIESEL :Â
Proses transesterifikasi minyak nabati pertama kali dilakukan pada tahun 1853 oleh Patrick Duffy, sekitar empat puluh tahun sebelum mesin diesel pertama kali berfungsi.Sebelumnya, proses pembuatan minyak lampu telah dipatenkan pada tahun 1810 di Praha, meskipun tidak dipublikasikan dalam jurnal ilmiah terverifikasi.
Mesin utama karya Rudolf Diesel, yang berupa silinder besi sepanjang 10 kaki (3,05 meter) dengan flywheel di bagian bawahnya, pertama kali beroperasi dengan tenaga sendiri di Augsburg, Jerman, pada 10 Agustus 1893, menggunakan minyak kacang tanah sebagai bahan bakarnya. Untuk mengenang peristiwa ini, 10 Agustus diperingati sebagai "Hari Biodiesel Internasional"