Ibunya sempat meneteskan airmata ketika bercerita tentang sebuah lomba yang pernah diikuti anak tercintanya. Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR) itulah namanya. Lomba yang membuatnya trauma menulis karena tingkah sekolahnya. Sekolah yang bernaung di bawah designan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lombok Timur yang kini dipimpin oleh Lalu Suandi bergelar S.Sos.
Trauma menulis disini kami jelaskan, jangan diartikan secara medis, namun artikanlah secara bahasa kias. Ditulis demikian karena harus berhati-hati ketika menaikkan nama Kepala Dinas ini. Terlalu, apa ya. Intinya sulit mengembangkan inovasi / peran serta masyarakat terkait dunia pendidikan.
Saksi Alibinya, pernah bertemu dan berdiplomasi dengannya, jawaban yang muncul yang membuat penulis heran adalah pertanyaan “Apa Kapasitas Anda?” dan pertanyaan-pertanyaan lain tepatnya perdebatan yang seharusnya tak dilahirkan / terlontar dari orang yang dibutuhkan Publik. Orang yang seharusya…ya Cukup sampai disini saja. Hanya berharap, kita mau belajar bersama.
Kembali ke cerita, saat itu si Anak yang dibimbing tanpa anggaran oleh ibunya. Ya Maklum, yang namanya ibu, “Kasih Ibu sepanjang masa, selalu memberi tak harap kembali” namun sayang, keinginnanya untuk memberi yang terbaik untuk anaknya, minimal bisa Lolos ke Tingkat Nasional dalam LPIR itu, sayangnya berakhir dengan trauma nan malas dengan aktifitas tulis menulis. (Sebagian Kisah dan Renungannya Baca Disini)
Pasalnya, diceritakan si Ibu, hasil tulisan anaknya, hasil semangat anaknya, dari saat merangkai harapan, dituangkan dalam kata-kata, diracik dengan berbagai sumber pustaka, berekspedisi dalam penelitian untuk karya Ilmiahnya dengan hasil, dari judul sampai hasil penelitian, ia selalu diyakinkan oleh pembimbing dari Provinsi NTB yang sangat baik hati.
Walau tak dibimbing sekolah saat itu, atau hanya atas nama pembimbingnya saja alias yang membimbingnya adalah ibunya, maka “si anak” dengan semangat mendengar bahwa Karya Ilmiahnya terbaik se-NTB atau bisa mewakili Lombok Timur ke Tingkat Nasional.
Sampai pada tahap pengiriman, ia masih dihubungi oleh pembimbing Provinsi yang sering menjadi fasilitator lomba dan nge-fans terhadap karya Ilmiahnya. Namun apes nasibnya, ketika ia mengajukan tanda tangan pembimbing dan kepala sekolahnya, ia berhadapan dengan sebuah birokrasi yang mematahkan semangatnya.
Sampai kepada deadline waktu pengiriman. Sekolahnya selalu membunuh karakternya. “Andai saja, anak saya tak lulus karena seleksi, saya tak akan kecewa, tapi ini masalah jawaban dan birokrasi sekolah dengan karya hanya sampai diatas meja,”demikian simulasi bahasa ibunya. Bahasa dan cerita yang sebenarnya, sesungguhnya lebih pedas, yang intinya hasilnya adalah “malas menulis”
Namun demi nama baik sekolah, maka cukup bahasa itulah yang terpublish. Itu juga alasan mengapa nama sekolah tak naik, apalagi nama keluarga yang malang karena putus harap itu, pun karyanya. Pertimbangannya jika dipublish akan membuatnya beresiko. Bisa jadi Kepala Sekolahnya Dimutasi, Keluarganya Dibully.
Tapi apa mau dikata. Ini harus terungkap, ini harus didengar. Karena manfaatnya tentu akan lebih besar. Harapannya adalah semoga kesewenang-wenangan terhadap penelantaran minat dan bakat anak bisa dihentikan.
Melalui kisah diatas, harapan sejenis, yang perlu diperhatikan soal pendidikan, terutama di Lombok Timur adalah kemampuan Kepala Dinasnya dalam segala hal soal pendidikan, kami rangkum sebagianya, sebagai berikut.
1. Pendidikan bukan hanya soal bangunan fisik dan penyelewangan dana besar saja, namun juga soal-soal lain terkait aspirasi peran serta keluarga dan masyarakat, serta pembinaan dan harapan pusat termasuk menejemen atau bagaimana menampung hak-hak anak termasuk dalam LPIR tadi.
2. Dalam kisah LPIR tadi, di pengumuman Laporan Penggunaan Dana BOS terpampang Dana Pembinaanya, tentu saja laporannya pernah dilakukan pembinaan. Rapi dan pasti membuat inspketorat atau atasan atau yang ditakuti percaya. Tapi faktanya?. Oleh sebab itu butuh design kekuatan Tanda Tangan Kepala Dinas sebagaimana yang pernah dikatakan Lalu Suandi.
3. Melalui kekuatan tanda tangan kepala Dinas di surat-surat itu, Ayo, demi kepentingan publik dan sesuai amanah Tut Wuri Handayani, maka jangan hanya terima aspirasi dari yang memiliki kapasitas saja. (Sebagaimana Pertanyaan Sang……) Bukankah semua berhak menyatakan pendapat untuk kepentingan publik?.
Dan ini adalah untuk kepentingan publik. Karena kisah ini bisa saja merupakan satu kisah dari banyakknya kisah-kisah yang lain. Sebuah kisah sepele yang jarang diperhatikan. Entahlah (Wallahu’alam).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H