Kaki langit terbuat dari logika dan hasrat untuk memuaskan raga. Cakrawala kita tidak lebih dari metafora antara kornea dan segala yang kausebut mata.Â
Takdir itu benteng yang sulit retas, sementara kita hanya mampu bernapas melalui batas-batas. Dimensi dan waktu. Warna dan garis. Bentuk dan suara.
Sekalipun kautolak, ukuran yang kita kenal berasal dari neraca murah yang mudah rusak. Dapat dipermak, tapi berkali-kali membutuhkan kalibrasi. Laiknya mimpi tentang siang yang muram di pelataran malam. Juga angan-angan yang lelah menanti sebuah ketetapan.
Tragisnya, kita berpura-pura menjadi orang lain pada ujung hari yang melelahkan. Dikerubuti ragu, dan menjelajahi perihal buntu yang tidak perlu. Terjebak di labirin perbandingan dengan ratusan persimpangan.
Menolak untuk paham bahwa:
(1) waktu terbaik adalah sekarang;
(2) tempat terbaik adalah di sini; dan
(3) kondisi terbaik adalah diri kita saat ini.
Kerap kali, perlawanan dan perjuangan luruh jadi buih-buih yang terlampau rapuh. Pecah dan musnah.Â
Melenggang kuasa yang mustahil kauhadang.Â
Lupakan saja perkara orang-orang, kita bahkan gemar mencampuri urusan Tuhan. Merasa lebih paham, dan gemar menyelenggarakan acara pengadilan.
Lantas, salah siapa jika hati semakin jauh dari ketenangan?
Ya, salah saya. Siapa lagi, coba.
Tidak mungkin Dia.
Mea culpa.
***
N. Setia Pertiwi
Cimahi, 08 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H