Perayaan menunggu kita di pelataran kota yang menyimpan gerimis paling indah di dunia.Â
Kamu berjanji kita akan segera tiba. Karena aku utara, menggenapi arahmu yang selalu saja ke mana-mana.
Karpet merah telah digelar. Gelas-gelas dan piring-piring telah berdenting-dentingan. Mereka sudah menanti kue-kue yang menggiurkan dan saat-saat yang mendebarkan.
Tiga jam lagi, kita akan memijak tanah basah sehabis hujan, lalu bergegas menghadiri perjamuan.Â
Menyantap hidangan lezat yang tersaji untuk mereka, orang-orang yang merestui dan orang-orang yang patah hati.
Tenang saja, katamu. Nikmati waktu, angkasa tengah bersemu, seperti pipiku.
Tapi ... kembang api rupanya tidak sabar menunggu malam tiba.Â
Pukul lima sore, lebih lima puluh lima menit, lima puluh lima detik, ledakan pertama. Tepat ketika matahari berhenti menenggelamkan diri, ledakan kedua melontarkan kita.
Saat itu aku tahu, bahwa penulis skenario film tidak tahu apa-apa perihal awan.Â
Mendadak, aku merindukan kasur dan baju tidur.
Lalu lautan, ternyata lebih legawa menerima air mata kita.
Tidak perlu takut, katamu.
Kita akan menjadi sepasang kekasih yang berikrar di atas samudra.
Perlahan,
memasuki ruang hampa.
***
N. Setia Pertiwi
Cimahi, 18 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H