Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Demi Bangsa yang Damai, Mari Bicarakan "Kafir" Sambil Bersantai

12 Oktober 2018   15:55 Diperbarui: 12 Oktober 2018   16:38 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, ada pula orang-orang yang justru "menutup" hati dan menjauhkan diri (Q.S. 6:25-26). Mereka sengaja tidak mau mendengar dan "menutup" pikiran mereka dari jalan yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW. Sehingga, mereka seperti yang termaktub dalam Q.S. 18:101, disebut Al-Kufru, dengan kata kerja kafar, dan orangnya disebut kaafir.

Kemudian, turun firman Allah yang mengontradiksikan istilah antara orang beriman (meyakini agama Islam) dan orang kafir (menutup diri dari agama Islam) dalam Q.S. 109:1-6.

Sebagai utusan-Nya, Rasulullah SAW tentu menyampaikan firman tersebut dengan istilah yang diturunkan Allah. Namun, tidak ada penyembah berhala yang merasa tersinggung. Karena, hanya persoalan antonim. 

Lagipula, jelas bahwa kata kaafir itu bersifat halus dan tidak tendensius.

Jadi, sekalipun kata "kaafir" lantas menjadi istilah dalam syariat Islam, penyembah berhala tidak pernah merasa terhina. Mereka secara sadar menutup diri dan tidak ingin menerima ajaran Islam. Mereka yakin masih mengikuti agama Nabi Ibrahim AS dan tidak ingin "akidah" mereka terhadap berhala harus terusik (Q.S. 6:136-140).

Sampai di sini, menjadi jelas tentang pengertian "kafir" dalam syariat Islam. 

Maka, mari kita kembali pada garis waktu yang lebih dekat.

Problem kekiniannya, ketika "kafir" dilontarkan dengan niat melakukan penghinaan atau dalam konteks tuduhan. Terlepas kedua pihak paham makna "kafir" atau tidak, akan tetap timbul rasa sakit hati, karena yang tersampaikan bukan makna, melainkan emosinya.

Sekalipun benar, bahwa makna kata kafir hanya merujuk ke "orang yang menutup diri dari firman Allah pada Nabi Muhammad SAW", tapi jika terucap untuk menyakiti dan membuat orang marah tentu akan jadi masalah. Padahal, kata-kata dalam dakwah harus disesuaikan dengan lawan bicara agar tidak memercik pertikaian dan mudharat yang lebih besar (Q.S 16:125).

Dengan kata lain, lebih baik diam, ketika kebaikan tidak mampu diterjemahkan.

Karena, nahi munkar juga ada akhlaknya, ada aturannya. Tidak boleh menimbulkan mudharat yang lebih besar, tidak memancing bantah-bantahan yang lebih keras, dan yang paling penting adalah niat. Apakah benar, ingin meluruskan, atau hendak menyerang orang dan kelompok lain yang berbeda pilihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun