Awan semakin tidak sabar. Kita bersisian selama tujuh jam dan saling melempar diam. Kata-kata kita hanya akan membangunkan badai. Cinta yang terlalu lelah untuk mengalah pada kata andai.
Aku menggumam, kamu enggan peduli bahwa langit itu hitam. Dan kita, cuma segumpal ruang hampa yang terlalu bebal. Sementara radio, menara, serta pesan-pesan, menumbuhkan ekor yang menjalar-jalar seperti ular.
Bagaimana cara yang benar untuk merindu?Â
Hanya rerumputan yang memahami hangat tubuhmu. Lalu angin membelaiku lebih dulu dari tanganmu. Di antara kita, ada belukar yang menghalangi cinta untuk memasuki persemayaman luka.
Kita berangan-angan, tapi melupakan waktu yang mati di perbatasan.
Dapatkah kita menawar penderitaan? Menggugat larik-larik yang mengeluhkan aksara. Tersesat pada beda-beda yang cuma nama.
Serius sedikit.
Aku ingin pulang ke hatimu, apakah punya alamat baru?
***
Cimahi, 03 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H