Nikmati saja sendiri. Asal jangan ganggu orang dengan asapnya karena itu sudah masuk ranah kezaliman.
Dan ... nikmati sendiri ya berarti nikmati sendiri.Â
Tidak usah membuat orang terpaksa menghirupnya. Tidak usah mengganggu orang dengan baunya. Tidak usah membela rokok di depan muka saya.
Hmm ... konon, manusia sulit memahami larangan. Baiklah, saya katakan, terima kasih telah merokok dengan baik dan benar. Sendiri, tanpa mengumbar-umbar.
Selamatkan orang lain dari keburukan lisan dan tanganmu.
Kalau orang lain, merasa terganggu, bahkan sesak, karena asap hasil dari kenikmatanmu sendiri, itu setara dengan apa? Kamu telah memperkosa paru-paru orang lain. Dan ya, sama saja kamu tidak memikirkan keberadaan, perasaan, dan tidak menghargai kebebasan manusia lainnya.
Silahkan merokok sebanyaknya, saya tidak akan menasehati perkara kesehatan atau hak asasi. Kalian pasti sudah kebal, kan? Saya menghargai pilihan kalian, apalagi bagi yang sudah kadung ketagihan.
Atau, perlukah saya kasihan?
Begini.
Bapak saya, berhenti merokok beberapa tahun lalu. Setelah masuk rumah sakit karena sinus dan polip. Bukan karena rokok, jika menurutmu kebendaan tak memengaruhi kehendak Tuhan. Jika demikian, bukankah kebendaan juga tak seharusnya membuatmu ketergantungan?
Baiklah, terserah.