"Kenapa, Nei? Saya serius, ini cerdas. Kita bisa mengajukan ini ke pemilik tanah. Entah Pak Wira atau Serunai Group, saya yakin mereka akan sepakat."
"Ya, silahkan Bapak ajukan. Saya tidak ikut."
Aku beringsut menjauh. Rasanya lelah sekali. Relawan kampung wisata hanya tinggal kami berdua. Satu orang lagi tak pernah kembali setelah mengatakan ada kesibukan di tempat lain. Yang lain sudah lama pergi.
Wajar, bernapas saja menjadi terlalu menyakitkan di sini. Empat puluh enam penghuni yang tersisa berada di titik nadir nyawa mereka. Menunggu keajaiban untuk hadir di pergelaran hidup tanpa intaian malaikat maut.
Pak Wangsa mengikutiku. "Ada apa, Nei?"
"Saya tidak sanggup berhadapan dengan mereka, Pak."
Pak Wangsa memandangku simpati. "Apa karena... yang telah berlalu?"
Angin meniup kerudungku, mengembus sampai ke kalbu. Aku paham. Maksud Pak Wangsa bukan adegan umbar emosi di kantor Serunai, melainkan garis masa yang lebih berjarak dari sekarang. Waktu-waktu yang terbenam dalam kelabu. Penyebab aku tak bisa menemui mereka tanpa perasaan ingin membunuh.
Aku mendongak, mencari garis perak di tepi kumulonimbus.
Masih ada, di sana.
***