Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sengsara di Batas Agama

10 September 2018   16:33 Diperbarui: 10 September 2018   16:48 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosok ketiga terlihat takjub selama beberapa milisekon. "Bagaimana dengan rezeki yang ditawarkan Tuhan dari berbagai arah? Dia selalu takut mudharat dan jadi miskin atas nama syariat. Mudah dari mana?"

"Kamu bicara uang? Uang hanya metafora! Uang dicari selain untuk dirinya sendiri. Uang digunakan orang-orang untuk meraih kesenangan dan ketenangan batin."

Sosok keempat menatapku dingin. Ia melanjutkan, "Dia adalah hasil percobaan yang berhasil. Dia sudah mampu mendapatkan tujuan dari uang tanpa harus memilikinya. Ketakutan dan harapan karena ketidakberdayaan membuatnya terus berdoa. Itu membuatnya tentram hingga batinnya selalu tenang!"

Aku tertegun. Mereka terus berdebat tentang aku selama hampir satu jam kemudian. Ramai sekali jadinya. Telingaku berdenging, kepalaku berdenyut. Karena sudah tidak tahan, akhirnya aku menyela.

"Cukup. Bisakah kalian diam? Hei, kamu!"

Aku menunjuk sosok ketiga. "Kamu tahu konsekuensi cinta kepada Tuhan? Pembuktian! Dengan menjalankan setiap keinginan-Nya, termasuk beragama. Dia Mahatahu, yang melawannya hanya sok tahu."

Aku menghela nafas, menunjuk sosok keempat. "Kamu juga tidak perlu sok pintar dan merasa paham soal aku! Aku tidak merasa tentram. Aku tersiksa harus memuntahkan keinginan dunia. Benar kata dia, aku berduka cita karena menjalankan agama. 

Aku harus tahan tidak bersolek, sementara teman-temanku dipuji karena kecantikan mereka. Aku harus gigit jari karena keuntungan penjualan gamis-gamis cantik itu begitu menggiurkan, tapi aku tidak mau para perempuan menjadi budak fashion dan penampilan."

Sosok ketiga tampak senang karena lawannya ikut aku omeli. Dia tertawa, sosok keempat cemberut. Aku melanjutkan.

"Tapi aku harus bertahan dengan duka cita. Ini akan berakhir. Aku harus memuntahkan kebanggaan diri dan kecintaan dunia ini. Perutku harus kosong, agar Dia bisa memberiku makanan apa pun yang Dia inginkan. Aku tidak peduli pendapat kalian, tapi ini cara pilihanku dalam bertuhan. Aku bisa saja salah, tapi aku tidak menyalahkan kalian."

"Dunia ini surga lho, bagi mereka yang tidak menjalankan agama," kata sosok ketiga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun