Namaku Hujan. Akulah yang kalian sebut dengan berbagai nama. Mulai dari yang wajar seperti "air mata langit", hingga metafora tentang "langit yang bunuh diri". Sungguh, berlebihan sekali kalian ini. Padahal, aku cuma serpihan awan yang terjatuh karena sudah keberatan badan. Sementara langit masih jauh mengawang tanpa kepastian jarak, yang konon katanya ada tujuh lapisan.
Aku sering dengar, anak-anak menerima doktrin lagu-lagu tentang langit biru dan tinggi. Kalian yakin tidak salah ucap? Langit itu hitam. Kelam. Mistis. Mata kalian saja yang membuatnya nampak biru. Lagipula langit itu jauh, bukannya tinggi.
Tapi, aku mahfum jika kalian tidak tahu apa-apa perkara atas dan bawah. Dimensi ruang dan waktu justru berbatas pada akal yang kalian tuhankan. Demi gravitasi, kalian hanya menempel di bumi seperti wijen pada onde-onde.
Kalian tidak perlu bersungut-sungut ya karena kusamakan dengan wijen. Aku memang bukan hujan yang baik. Kalau kalian pikir semua hujan itu menyenangkan, aku tidak. Aku hujan, dan aku benci kalian. Kalian yang seperti wijen. Kecil dan tidak signifikan. Jatuh dan terlepas tidak berarti. Masih banyak wijen lainnya.
Jengah sekali rasanya mendengar sajak-sajak hujan kosong dan semua yang cuma bualan. Aku menolak gombalan. Lebih baik menerima caci maki, daripada rayuan dari wijen-wijen sok romantis yang memanfaatkan hujan sebagai persona biar dikata manis.
"Tidak perlu diambil hati, dia hanya kesal karena patah hati," seru Angin sambil terkikik menuju lembah.
Aku mendelik kearahnya. Sial, kalimat itu menghujam sekali. Ung... Baiklah, karena sudah terbongkar, aku mengaku saja. Izinkan aku jadi melankolis sebagai katarsis. Aku memang sedang kesal, dan selalu patah hati.Â
Pada sosok yang sama, berkali-kali.
Sekali saja, aku ingin melihat dia tersenyum saat aku datang. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Sejak rintik pertama menyentuh tanah, detik itu pula, raut bahagia di wajahnya sirna. Aku yang menggoda ratusan juta manusia untuk menjadi pujangga, gagal mengambil hati seorang saja.
Rinai, nama gadis itu. Nama yang berkaitan, tidak menjanjikan hati kami bertautan.Â
"Aku takut hujan," katanya dengan tegas.Â
Pedih sekali, ditakuti oleh orang yang kamu cintai. Selepas mendengar pengakuan itu, aku langsung uring-uringan. Menggerung, menderas, membanjiri jalan-jalan, melongsorkan perbukitan. Aku tak bisa mengendalikan diri.
Sungguh, aku ingin kembali pada masa ketika kami seolah tak berjarak. Pada masa aku dan Rinai pernah satu.Â
Aku suka sekali kala senyumnya melebar, kepalanya menengadah, menunggu terpaan dariku. Kami bergembira. Tak peduli Ibuk meneriaki Rinai untuk masuk rumah ketika aku mulai menderas  kesenangan.
Kami tak terpisahkan, menantang dunia tanpa pernah kelelahan.
Sampai hari itu.
Hari ketika aku membuat kesalahan.
Senja, selepas musim kemarau. Rinai tidak keluar saat aku mengetuk jendela kamarnya. Dia meringkuk, tampak kesakitan memegangi perut. Menutup mulut rapat-rapat ketika Ibuk menyodorkan sesuap bubur ayam. Satu hari, dua hari. Terus seperti itu, hingga Rinai terlihat kuyu dan kurus. Binar matanya lenyap tergerus.
Aku kalut, ingin segera masuk. Membantu Ibuk membujuk Rinai agar dia mau makan. Sesuap saja, lalu aku akan kembali menunggunya di luar.
"Tolonglah, bantu aku masuk ke kamar Rinai. Lima menit, tidak lebih," aku memohon pada Angin.
Bukan permintaan yang sulit. Kulihat, ada celah pada atap seng yang terbelah. Angin hanya perlu menyingkapnya sedikit dan mendorongku masuk.
Whuuush.
Tiupan pertama. Geming. Ah, atap seng berkarat itu cukup kuat rupanya.
Aku meminta Angin meniup lebih kencang.
Whuuuuuush.
Terbuka sedikit. Tapi belum sempat aku masuk, celah itu sudah kembali menutup.
"Ayo Angin, lebih kuat lagi!"
Whuuuuuuuush. Krrrrk, kbraaak!
Ups, malah terlalu kencang.Â
Kali ini atap teras rumah yang terbang dan tersangkut di pohon sukun tetangga. Alih-alih masuk ke kamar Rinai, aku malah berhamburan menjajaki teras dan mengetuk pintu rumahnya.
Bapak tampak geram sekali. Ia sesekali mengumpat dengan suara tertahan. Ibuk gemetaran mengendalikan jantungnya yang tak mampu tenang. Sementara Rinai diam saja, tapi wajahnya tak bisa menyembunyikan kecemasan.
Dan lalu, hanya ada penyesalan. Rinai semakin jauh. Ia jadi enggan hujan-hujanan. Tidak ada lagi senyum yang menyambutku dengan riang. Setiap kali aku datang, tanpa komando ia akan berlari masuk ke rumah, memeluk Ibuk. Ketakutan.
Pernah sekali, aku berupaya memperbaiki keadaan. Aku ingin bertemu Rinai untuk meminta maaf. Tapi, baru sedepa aku menelusup ke dalam rumah, Rinai malah menatapku penuh kebencian. Ia menggelungkan badan di atas kursi dan berdoa.
"Ya Allah, tolong hentikan hujan ini. Rinai takut, rumah kami bisa tenggelam."
Mendengar itu, waktu seperti mematung, aku remuk saat itu juga. Segala harapan jungkir balik. Aku jelas bukan hujan yang baik.
Berkali-kali, aku patah hati.
Sampai hari ini.
Rinai telah beranjak dewasa. Dia tidak lagi tinggal bersama Ibuk dan Bapak. Tanah rantau telah memanggilnya untuk berkemas dan bergegas. Aku ikut. Sejak Rinai hidup di kota ini, media massa ramai memberitakan tentang curah hujan yang meningkat drastis.
Dari beranda kamar barunya, Rinai seringkali menatap langit dengan pilu yang kusangka rindu. Aku turun, menyapa.Â
Tapi, baru saja gemuruh menyelimuti kota, Rinai mundur dan buru-buru masuk. Melalui jendela, aku melihatnya meringkuk di balik selimut.
Segala yang aku lakukan tidak pernah membuatnya senang.
"Angin, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ingin membuat Rinai terus-terusan takut," tanyaku.
Angin berembus pelan ke kanan dan ke kiri. Itu yang ia lakukan ketika sedang berpikir. Bergerak anggun, mengayun ranting, meninabobokan makhluk-makhluk letih hingga terpejam.
"Rinai harus mengingat saat-saat indah kalian dan melupakan kejadian buruk itu," ujar Angin bernada bijak.
"Bagaimana caranya?"
"Terpa Rinai dengan rintik yang lembut dan sejuk, seperti dulu."
"Bagaimana mungkin? Dia selalu saja memakai payung, seperti orang-orang."
Angin mengerling nakal, menjatuhkan daun-daun kering pohon akasia. "Aku bisa mengaturnya."
Aku diam, meragu. Terakhir kali Angin membantu, yang terjadi justru bencana. Tapi, tak ada pilihan lain. Aku bisa memberinya kesempatan.
"Kau siap?" tanya Angin mengambil ancang-ancang. Bersiap melancarkan ide liarnya yang membuatku berdebar. Hanya saja, aku tak ingin menyerah tanpa mencoba dan berkubang dalam rasa penasaran.
Aku mengangguk mantap.
Seperti biasa, menjelang malam, Rinai melalui setapak berbatu menuju asrama. Kami membuntutinya.Â
Sekali lagi, Angin membuktikan keahliannya menerbangkan sesuatu. Kerangka payung Rinai yang sudah rapuh, dihempas Angin hingga patah setengah bagian. Aku menerobos. Mengetuk lembut kepala Rinai, mengaliri jari-jemarinya yang hangat, meresapi pakaiannya.
"Ah! Kenapa rusak lagi? Hujan sialan ini juga belum berhenti sejak pagi," seru Rinai kesal. Ia mempercepat langkah. Menghilang di balik gerbang asrama. Menyisakan aku yang tertegun, reda sejenak, mencerna kata-katanya barusan.
Hujan sialan?
Awan menggelegar. Petir lebih tak sabar untuk menyambar.
"Hujan..."
Samar kudengar suara Angin memanggilku. Aku tak peduli. Aku rusuh sendiri.
Maaf Rinai, aku memang hujan sialan.
Mulai hari ini, kamu tidak perlu khawatir. Aku akan menjamin kamu tidak kehujanan. Kamu bahkan tidak perlu keluar dari gedung pelindungmu.
Dan, selanjutnya kalian lihat saja di televisi.
Selama seminggu, kantor berita negeri ini mengabarkan hal yang sama. Aktivitas warga lumpuh oleh banjir di segala penjuru mata angin. Jangankan jalanan, rumah-rumah berlantai dua sudah tak lagi kelihatan. Pohon-pohon tumbang. Termasuk pohon ketapang raksasa yang tumbuh tepat di depan asrama.
Apa kabar Rinai? Ah, sudahlah.
Benar katamu, Sayang. Aku memang hujan sialan.
***
NS Pertiwi
Cimahi, 21-8-2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H