Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Money

Ketika Pedagang Pasar Tradisional Melihat "Marketplace Online" Bekerja

24 Februari 2018   08:32 Diperbarui: 24 Februari 2018   08:39 2386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di antara situs belanja yang bermunculan pada era digital, marketplace online merupakan bentuk yang paling mirip dengan pasar tradisional. Marketplace online, mempertemukan antara pembeli yang membutuhkan barang/jasa dan penjual yang menawarkan barang/jasa, dalam satu tempat, berupa platform/website. Sederhananya, memfasilitasi pertemuan antara supply and demand.

Namun, meski mengusung konsep yang hampir sama, beberapa penyesuaian membuat dua jenis pasar ini memiliki perbedaan yang signifikan. Contohnya, karena tidak terjadi tatap muka antara pembeli dan penjual, marketplace online biasanya memiliki fitur rekening bersama yang bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan dan kenyamanan transaksi. Bahkan, admin marketplace online pun siap menjadi mediator jika terjadi masalah selama proses jual beli.

Sementara itu, pertemuan antara penjual dan pembeli, serta transaksi tunai di pasar tradisional tidak memerlukan hal tersebut. Karena, pembeli dapat mengamati barang dagangan dan melakukan tawar menawar secara langsung. Selain itu, ada kepuasan tersendiri bagi konsumen yang lebih menyukai pengalaman nyata dalam berbelanja.

Kendati demikian, pasar online masih sering disebut-sebut sebagai ancaman bagi eksistensi pasar tradisional. Para pedagang konvensional pun dihimbau untuk melek teknologi dan mau melakukan inovasi. Namun, tidak seperti kisruh antara ojek pangkalan dan ojek online, para pedagang ini tetap adem ayem berjualan sesuai caranya masing-masing.

Benar saja, ada dua alasan utama yang bisa mengamankan keadaan, sekaligus menjadikan kondisi stagnan. Satu, kultur masyarakat akar rumput yang tidak ambisius. Dan dua, keyakinan bahwa rezeki tidak akan pernah tertukar.

Meski terdengar normatif, landasan tersebut ada benarnya. Marketplace online dan pasar tradisional memiliki konsumen unik masing-masing. Perbedaan pengalaman, harga, dan barang dagangan menjadi diferensiasi dan membangun segmentasi konsumen yang berbeda.

Beberapa komoditas pokok, seperti sayur mayur, daging mentah, kelapa parut, dan banyak jenis barang lain, juga belum populer atau belum lumrah untuk dibeli secara online. Sebagian konsumen Baby Boomers dan Generasi X juga masih setia berbelanja dengan cara lama. Harga yang lebih murah, stok melimpah, dan kebahagiaan konsumen saat melakukan tawar menawar juga sulit tergantikan oleh interaksi di layar telepon pintar. Belum lagi, pedagang-pedagang kecil yang pasti telah memiliki langganan kiosnya sendiri.

Ketika pedagang pasar tradisional, sebut saja mertua saya dan teman-temannya melihat marketplace online bekerja, tidak ada reaksi yang cukup berarti. Selama konsumen masih berdatangan, masih ada keriuhan, masih ada penghidupan, maka semua telah terkendali.

Lain cerita, jika kita membicarakan marketplace jasa online. Baik yang bersifat matching marketplace seperti Beres, atau search marketplace seperti Joorney. Marketplace jasa online seperti dua contoh di atas, menimbulkan lebih banyak tanda tanya, yang bahkan harus dipertanyakan oleh pengembangnya sendiri.

Pertama, bagaimana cara mendatangkan pengunjung?

Marketplace jasa online harus berpikir keras untuk menarik perhatian warganet. Berbagai cara dilakukan untuk bisa menjadi situs andalan, di tengah-tengah persaingan dengan platform kompetitor yang lebih ringan, yang lebih user friendly, dan yang lebih dulu menembus pasar.

Agar lebih praktis, kita ambil contoh startup marketplace rental mobil online asal Semarang, Joorney. Untuk mendapatkan traffic, mereka memanfaatkan konten dan SEO dari blog, dengan prinsip promosi yang mengedukasi. Sementara itu, marketplace serupa ada yang menggunakan Google Ads atau kekuatan media sosial agar dilirik oleh pengunjung.

Persaingan menjadi lebih menantang dibandingkan penyedia jasa offline yang biasanya membagi "kue" berdasarkan lokasi dan jaringan pertemanan.

Kedua, bagaimana cara menjaga buyer dan seller?

Pekerjaan ini membutuhkan upaya dan pemikiran mendalam dari marketplace jasa online. Sangat mungkin terjadi, pelanggan dan penyedia jasa melakukan kontak pribadi dan tak pernah kembali lagi menggunakan platform. Terutama, jika telah terbangun kepercayaan di antara keduanya.

Maka, marketplace jasa online harus menyediakan fitur yang bisa memikat pengguna. Misalnya, pada studi kasus Joorney, sistem booking kendaraan dan pengalaman komunikasi yang disajikan harus memberikan rasa aman dan nyaman bagi kedua belah pihak. Proses sign up bagi pelanggan dan listing bagi pemilik mobil juga wajib user friendly dan tidak berbelit-belit.

Namun, hal tersebut belum cukup untuk membangun interaksi berkelanjutan di platform marketplace. Seperti pengalaman pribadi saya menggunakan Sribulancer sebagai freelance writer. Setelah mendapat kepercayaan dan dikontrak oleh beberapa klien secara pribadi, sulit rasanya untuk kembali ke platform karena kepadatan pekerjaan. Akhirnya, klien maupun freelancer yang telah menemukan "jodoh"nya, akan mundur perlahan dan menghilang dari peredaran platform.

Untuk itu, ada dua pilihan. Marketplace jasa online diharuskan untuk terus menggaet klien dan freelancer baru. Atau, marketplace tersebut berupaya memberi perhatian dan kenyaman lebih terhadap penghuni yang ada. Ya, sebagaimana perusahaan membangun engagement dan memberi penghargaan pada mitra yang telah bekerja sama.

Meski tampak rumit, kenyataannya jauh lebih rumit dari itu. Marketplace online juga harus berkutat dengan sistem IT dan algoritma pemasaran, dengan tetap menjalankan operasional dengan baik.

Penyedia jasa yang terbiasa dengan cara konvensional dan cenderung "alergi" terhadap teknologi, akan sulit untuk diajak bergabung. Namun, setelah generasi milenial merajai pasar, bukan tidak mungkin pasar tradisional dan penyedia jasa konvensional akan menemui masa-masa sulit.

Ketika itu, pedagang pasar tradisional akan mulai terusik dan bukan hanya melihat, melainkan harus mempelajari cara marketplace online bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun