Mohon tunggu...
Dahrun Usman
Dahrun Usman Mohon Tunggu... Essais, Cerpenis dan Kolomnis -

Manuisa sederhana yang punya niat, usaha dan kemauan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Perempuan yang Mengadu pada Kupu-kupu

25 Juli 2017   11:15 Diperbarui: 26 Juli 2017   21:53 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:wall.alphacoders.com

Rumah kayu berdinding bilik bambu dengan taman berbentuk lingkaran di belakang rumah ini adalah peninggalan almarhum ayahku. Aku beringsut dari kamar tidur sambil terus memegang buku catatan harian ayah. Aku buka daun jendela lebar-lebar, seperti biasa ratusan kupu-kupu berterbangan mendekati jendela dan hinggap di atas daun jendela. Warna-warni dan indah mereka. Secantik dan seindah ibuku. Mereka tersenyum dan menari-nari untuk menghibur hatiku yang sedang remuk redam di bakar oleh amarah. Sedih. Dan kerinduan yang sangat kepada ibu tercinta.

Rumah kayu berdinding bilik bambu dengan taman berbentuk lingkaran di belakang rumah ini adalah peninggalan almarhum ayahku. Dari seorang yang mengaku mata-mata serdadu republik ayah mendapatkan berita gembira. Mata-mata tersebut menyampaikan berita bahwa dia pernah melihat ibu sedang membersihkan taman disebuah rumah besar milik seorang pembesar serdadu pendudukan.

Mata-mata tersebut sendiri tidak pernah tahu siapa sebenarnya serdadu yang benar-benar menculik ibu di rumah kayu berdinding bilik bambu. Bahkan dia sempat curiga, ada mata-mata atau bahkan tentara pribumi yang menjadi penghianat republik ini dan membawa ibu. Ya. Pengkhianat. Pengkhianat selalu tumbuh subur di mana-mana.

Mendengar berita itu. Ayahku langsung naik pitam dan geram sejadi-jadinya. Dia langsung berdiri dari duduknya. Ayahku tidak mempunyai rasa takut sedikitpun mendengar kota lama Batavia. Padahal bagi tentara republik mendengar nama kota lama Batavia membuat bulu kuduk akan berdiri. Akhirnya ayah memutuskan untuk membebaskan ibu. Mereka berdua saja melaksanakan operasi itu. Ayah menyamar menggunakan seragam tentara pendudukan bersama mata-mata memasuki rumah pembesar tentara pendudukan.

Hampir semua tentara pendudukan tidak menaruh curiga dengan dua orang yang masuk ke dalam halaman rumah pembesar tentara pendudukan. Apalagi ayah mempunyai kemampuan berbahasa yang sama baik dengan tentara pendudukan. Bagian rumah pertama yang langsung dilihat oleh ayah adalah taman bagian belakang. Ya. Menurut informasi mata-mata tersebut, ibu selalu membersihkan taman di belakang rumah tersebut.

Perasaan ayah begitu membuncah bercampur bahagia ketika melihat seorang perempuan paruh baya sedang duduk di tepi jajaran bunga-bunga. Batin ayah berdebar, ternyata ibu masih hidup dan sekarang akan berjumpa lagi. Ketika ayah akan memanggil perempuan yang dirindukan puluhan tahun itu. "Ibu...!" Tiba-tiba. Dor..dor..dor..tiga buah peluru menembus leher, punggung, dan pinggang ayah. Ayah terjungkal dan terjerembab di atas jajaran bunga-bunga. Perempuan paruh baya itu kaget dan berteriak. Bapak! Dan segera memeluk dalam-dalam laki-laki yang sudah dirindukannya puluhan tahun.

"Ibu. Maafkan bapak yang tidak bisa membawamu pulang kembali ke rumah kayu berdinding bilik bambu dengan taman berbentuk lingkaran di belakang rumah. Bapak titip anak kita. Jaga baik-baik!" Itulah kata-kata terakhir bapak di pangkuan ibu. Ibu hanya menangis dan menangis sejadi-jadinya. Sejurus kemudian tentara pendudukan menarik tubuh bapak dengan tanpa pengormatan sama sekali sebagai manusia. Ya. Bapak ditarik seperti seekor binatang buruan. Sadis. Memilukan. Tidak ada perikemanusiaan. Di mana di dunia penjajah punya kemanusiaan, Nak? Itu kata-kata yang pernah saya dengar sendiri dari mulut ayah ketika akan berjuang di medan laga.

Tetapi yang membuat hatiku semakin teriris-iris adalah ayahku dihianati oleh mata-mata dari kalangan serdadu republikan. Ternyata mata-mata yang mengaku serdadu republikan itu adalah kaki tangan dari tentara pendudukan. Dia dibayar ribuan yen untuk menangkap ayahku. Ya. Selama ini ayah adalah serdadu yang terbilang paling sering menjatuhkan lawan di medan laga. Selain berani, ayah mempunyai kemampuan menembak paling baik diantara serdadu republik yang lain. Sehingga nyawa tentara pendudukan juga sudah tak terbilang berapa banyak yang sudah melayang akibat letupan senjata ayahku.

Makanya para pembesar tentara pendudukan sangat mencari-cari ayahku hidup maupun mati. Tetapi penghianat itu ayah. Ya. Penghianat memang tetap penghianat. Tempatnya adalah di lumpur yang paling panas sekalipun di dunia ini. Entahlah kalau di akherat nanti, sebab hanya Tuhan yang tahu. Ternyata di republik ini memang penghianat seperti hantu yang bergentayangan ke sana kemari, pagi, siang dan malam mencari mangsanya. "Pedih...pedih...pedih...Nak! Hidup dengan penghianat. Lebih baik hidup dikelilingi ratusan harimau daripada hidup bersama dengan satu penghianat!" Itu tulisan terakhir ayahku di buku diarinya. Entah kapan ayah menuliskan kalimat terakhir itu, yang jelas tidak mungkin setelah tiga tembakan serdadu menembus tubuhnya di taman belakang rumah Laksamana. Pasti gambaran yang akan terjadi sebelum nafas terakhir terhembus dari kerongkongannya yang lantang.

Maafkan aku ayah. Aku tidak bisa menolongmu di saat bunga di taman dibasahi oleh darah perjuanganmu untuk kemerdekaan republik ini. Terima kasih ayah. Engkau telah mewariskan taman bunga yang indah beserta kupu-kupu yang sangat cantik dan indah. Secantik dan seindah ibu. Ibu, aku sangat dan sangat rindu padamu. Merekalah sekarang yang menemani hari-hariku di belakang rumah kayu nan indah peninggalan ayah.

Air mataku akan kusimpan dalam telaga di samping taman bunga, di atas awan agar rinduku pada ayah dan ibu tidak pernah kering. Tapi tetap mekar dan harum seperti bunga. Tetap terbang seperti kupu-kupu. Dan harapan itu nyata menyala-nyala dalam hati dan pikiranku walaupun senja telah menyapaku dalam kesendirian. Ayah.....Ibu!

Cimahi, Mei 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun