Prihatna secepat kilat melipat barang dagangannya dan berusaha lari untuk menyelamatkan barang dagangannya, tapi malang tak bisa ditolak untung tak bisa diraih.
"Lari, Kang!," seru Wasta.
"Hayo, Was!," jawab Prihatna. Tapi tiba-tiba.
"Berhenti kalian!," seru aparat.
"Ada apa, Pak?," kamu jangan berlagak bodoh ya!
"Serahkan semua barang daganganmu!," bentak aparat.
"Sudah berakali-kali kami memperingatkan kamu!," seru aparat.
"Jangan, Pak! Ini adalah harta dan cita-cita anak saya Pak!," Prihatna mencoba untuk melawan.
"Makan itu cita-cita, dan bungkus buat santapan anakmu!,"pekik aparat.
"Jangan diambil, Pak!, tolong kembalikan!,"rintih Prihatna.
Prihatna tidak berdaya ketika lima orang aparat ketertiban umum kemudian menyeret gumpalan terpal berisi cita-cita ketiga anaknya ke atas mobil dan mencampakannya. Dia hanya mengelus dada dan tidak mengerti, mengapa hanya untuk memenuhi sebuah cita-cita harus dipasung di kota ini?. Sebuah labirin absurditasmenggelayuti alam pikirannya, menari-nari bak sekuntum bunga layu yang sudah dihisap madunya oleh Sang Kumbang jantan. Bukan sekali ini nasib seperti itu menimpanya, bahkan puluhan kali Prihatna merasakannya, tetapi demi sebuah cita-cita ketiga anaknya dia rela menggenggam bara kekerasan dan muaknya ketidakadilan.