Jajaran bunga trotoar dengan aneka ragam warna dan harumnya kini sudah tidak bisa kita temukan lagi di sudut kota lama itu. Bahkan sedapurpun kini lekas sudah tidak menjuntai lagi. Dahulu ketika nasib masih berpihak, surya masih berbagi, terlihat mereka begitu anggun menyapa pembeli, dan pelayan-pelayan toko yang genit manis dengan daun gincunya yang merah menawarkan barang. Semua sudah ditelan waktu, ditumbuk dalam lumbung nasib, bahkan tapak kaki yang dahulu menggilas lapak-lapak kumuhpun sekarang sudah tidak ada jejaknya lagi. Kemana nasib hendak mengadu, kalau benih dari merekapun sudah layu untuk disemai?. Sekarang sudut-sudut kota lama itu tinggal ornamen-ornamen kaku yang membujur dari mallis searah mata memandang hanya kebekuan, kekakuan dan kesombongan metrokosmos yang sombong.
Prihatna memang tidak pernah berharap, bahkan mimpipun tidak, kalau bunga trotoar itu berubah marga menjadi clerodendromatau bunguryang mempunyai derajat keangguan tertinggi dalam langerstroemia speciosa. Tetapi masih ada secercah harapan dari dinding hatinya yang dalam, bahwa suatu saat bunga trotoar itu akan kembali mem-bunjaidan merekah di depan toko-toko kota lama yang megah dan angkuh untuk sekedar menyapa langkah-langkah gontai kaum kusam yang kurang beruntung. Keyakinan menjadi cakrawala, semangat mampu merubah senyawa, dan perjuangan adalah pelaksanaan batin dan kata-kata.
Suatu saat prihatna melamun dan membayangkan bungsildari bunga trotoar itu menyembul kembali di depan jajaran toko-toko megah di sudut kota lama, menjelma menjadi elegi taman yang merekah di simpang alun-alun kota. Sedetik senyumnya simpul menerpa putik bunga dan melambai dahan-dahan sari yang ranum dan manis. Tetapi, sejurus kemudian air mata meleleh dari kelopak matanya dan menetes di batu trotoar toko.
"Tidak mungkin," terbangun Prihatna dari lamunan dan khayalannya. "Aku adalah bunga trotoar!". "Bungaku tidak bermartabat!". "Aku selalu menjadi musuh aparat!". "Bahkan dianggap benalu!". "Tempatku di sampah!" teriak Prihatna. "Tempat asal adalah neraka!". "Tapi aku harus berjuang agar bunga trotoar menjadi Matahari bagi keluargaku,"semangat Prihatna. "Ya, Matahari itu harus aku hadirkan bagi cita-cita anakku!," yakin Prihatna.
Prihatna selalu teringat saat-saat nasib berpihak padanya, Sang Surya masih mau berbagi, sehingga trotoar menjadi taman istana paling dermawan baginya, dan keluarga diberinya harapan untuk menatap masa depan yang lebih baik. Anak pertamanya, Arya ingin menjadi Pilot disebuah meskapai penerbangan ternama di kota lama. Anak keduanya Maryani ingin menjadi dokter agar bisa mengabdi pada nusa dan bangsa, sementara si bungsu Hary ingin menjadi seorang Dosen yang mengabdikan dirinya kepada pendidikan anak negeri. Cita-cita adalah persemaian bunga bangsa paling luhur, ada dihati dan digerakan oleh nadi, semua itu sah bagi Prihatna tanpa harus memandang status dan martabat. Karena cita-citalah yang akan menentukan martabat sebuah bunga dan keharuman sebuah makna.
Sehingga setiap pagi Prihatna menggantungkan cita-cita tiga anaknya di atas hamparan lapak-lapak dan terpal kumal berukuran tiga kali dua meter, dan saat langit sudah mulai semera jinggaPrihatna membungkus cita-cita anaknya dengan erat di dalam terpal yang sudah menemaninya bertahun-tahun.
Semakin hari, cita-cita ketiga anaknya makin mekar bagai bungsil putik nyiur yang melambai di tepi pematang sawah, sehingga Prihatna semakin semangat untuk menapakinya. Tapi pada suatu siang ketika Sang Surya begitu tarik menikam semangat Prihatna dan hampir seluruh barang dagangan yang dijual hampir habis, peristiwa tragis harus kembali menimpanya.
"Wah, perburuan dimulai lagi, Kang!" teriak Wasta teman disampingya.
"Ada apa, Was?" kaget Prihatna.
"Aparat ketertiban umum kembali lagi!" jawab Wasta.
"Ayo bereskan semua barang-barang dagangannya, Kang!" seru Wasta.