Mohon tunggu...
Nurmitra Sari Purba
Nurmitra Sari Purba Mohon Tunggu... Programmer - Statistician

Menulis untuk mencerdaskan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Inflasi dan Kesenjangan Pendapatan di Indonesia

11 Juni 2019   07:22 Diperbarui: 19 September 2019   05:04 5723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : www.harveker.com

Pembangunan ekonomi di berbagai negara bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat sehingga masalah kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan dapat diatasi. Tujuan inti pembangunan menurut Todaro dan Smith[1] yaitu peningkatan ketersediaan serta pemerataan distribusi berbagai barang kebutuhan pokok, peningkatan standar hidup untuk memperbaiki kesejahteraan materiil, memperbaiki nilai-nilai moral, serta perluasan pilihan-pilihan ekonomi dan sosial. Namun, hasil pertumbuhan ekonomi harus dilakukan pemerataan agar tujuan-tujuan tersebut dapat tercapai. Apabila hasil dari pertumbuhan ekonomi tidak didistribusikan secara merata, akan timbul ketimpangan pendapatan yang terkait dengan masalah kemiskinan. 

Trickle down effect atau efek menetes ke bawah merupakan sebuah teori yang dijadikan acuan pengambil kebijakan dalam pemerintahan. Isi dari teori tersebut adalah bahwa kegiatan ekonomi yang lebih besar akan dapat memberikan efek positif terhadap kegiatan ekonomi di bawahnya yang memiliki lingkup lebih kecil. Namun, pada kenyataannya teori ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Jika mengikuti teori ini, strategi pembangunan harus diarahkan agar memperoleh capaian laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam suatu periode. Teori tersebut tidak sesuai dengan kenyataan karena pertumbuhan Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita tidak dapat secara langsung meningkatkan taraf hidup masyarakat. Semakin tinggi pertumbuhan PNB semakin besar perbedaan pendapatan antara golongan miskin dan golongan kaya diakibatkan adanya ketidakmerataan distribusi pendapatan. Kemiskinan dan ketimpangan akan semakin diperparah lagi dengan meningkatkannya jumlah pengangguran di daerah pedesaan dan perkotaan.

Ketimpangan distribusi pendapatan memberikan trickle up effect atau efek muncrat ke atas. Orang-orang kaya cenderung lebih mendapatkan kemudahan secara ekonomi dan mereka lupa atau tidak berkeinginan untuk membangun perekonomian kecil yang berada di bawahnya. Akibatnya, yang kaya menjadi semakin kaya, dan yang miskin menjadi semakin miskin. Pembagian kue pambangunan hanya dinikmati oleh kalangan atas. Trickle down effect yang diharapkan dari pertumbuhan ekonomi yang pesat tidak memberikan manfaat bagi orang miskin (BPS, 2008)[2].

Widodo (1990:122)[3] mengemukakan bahwa permasalahan ketimpangan distribusi pendapatan dan kemiskinan absolut merupakan ukuran untuk melihat keadilan ekonomi dalam masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum dikatakan berhasil untuk menghilangkan atau mengurangi luasnya kemiskinan absolut di negara-negara berkembang jika ketimpangan distribusi pendapatan masih terjadi. Pembangunan ekonomi jelas mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara, namun pembangunan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar tidak akan secara otomatis membawa kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat. Pengalaman negara maju dan berkembang membuktikan bahwa meskipun mekanisme pasar mampu menghasilkan penumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang optimal, tetapi negara-negara tersebut masih menghadapi masalah ketimpangan distribusi pendapatan dan masalah kesejahteraan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketelantaran.

Rasio Gini (atau koefisien Gini), ukuran ketimpangan distribusi pendapatan, merupakan indikator penting untuk menilai tingkat 'keadilan' di suatu negara (meskipun indikator ini memiliki beberapa kekurangan). Rasio Gini 0 menunjukkan kesetaraan sempurna, sedangkan rasio 1 menunjukkan ketimpangan sempurna. Pada tabel di bawah ini terlihat bahwa sejak tahun 2007 hingga 2011 rasio gini terus mengalami peningkatan kemudian turun sedikit pada tahun 2016 dan 2017 menjadi 0,39 sampai pada tahun 2018.

 Tabel 1. Statistik Kemiskinan dan Ketidaksetaraan di Indonesia

1-png-5cfef58b0d82303bb62a87ca.png
1-png-5cfef58b0d82303bb62a87ca.png
2-png-5cfef5be0d823037d3430e51.png
2-png-5cfef5be0d823037d3430e51.png
1Maret 2018

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia

Ini merupakan fakta yang menyakitkan dimana ketimpangan Indonesia meningkat sementara - pada saat yang sama - ekonomi secara keseluruhan berkembang dari ekonomi USD 163,8 miliar pada tahun 1999 menjadi ekonomi USD 933,0 miliar pada tahun 2016 (sementara Indonesia menjadi anggota G20 dari kelompok ekonomi utama di 2008).

Tabel 2. Statistik Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) Indonesia

3-png-5cfef5f93d68d54c466370ed.png
3-png-5cfef5f93d68d54c466370ed.png
4-5cfef6130d823037fc38492a.png
4-5cfef6130d823037fc38492a.png
1-png-5cfef6313d68d554dd7ae4bd.png
1-png-5cfef6313d68d554dd7ae4bd.png
The base year for computing the economic growth rate shifted from 2000 to 2010 in 2014, previous years have been recalculated
Sumber: Bank Dunia

Laporan Bank Dunia yang dirilis pada Desember 2015 mengklaim bahwa hanya 20 persen populasi terkaya di Indonesia yang menikmati hasil dari pertumbuhan ekonomi selama satu dekade, yang menyiratkan bahwa 80 persen populasi (atau 200 juta orang secara absolut) dibiarkan di belakang. Ini adalah angka yang mengkhawatirkan. Faktanya, setelah Cina, Indonesia mengalami peningkatan ketimpangan distribusi pendapatan tertinggi antara 1990-an dan 2000-an di antara negara-negara Asia:

Tabel 3. Negara-Negara Asia dengan Rata-Rata Rasio Gini Tertinggi

1-png-5cfef6be3ba7f74fdb7d21c2.png
1-png-5cfef6be3ba7f74fdb7d21c2.png
Sumber: Bank Dunia

Di Indonesia, rasio gini terkait erat dengan pergerakan harga komoditas. Tren peningkatan rasio gini nasional pada tahun 2000 datang di tengah harga komoditas yang booming, sementara rasio gini stabil setelah harga komoditas turun pada tahun 2011. Oleh karena itu, naik atau turunnya harga komoditas tampaknya sangat memengaruhi 20 persen populasi Indonesia.

Inflasi merupakan masalah perekenomian yang menjadi perhatian utama pemerintah dan pengamat setiap negara karena inflasi akan berpengaruh pada besarnya investasi, kemampuan daya beli dan pertumbuhan ekonomi. Secara sederhana inflasi diartikan sebagai kenaikan harga secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Kegiatan pembangunan ekonomi tidak dapat lepas dari inflasi. Inflasi yang terlalu tinggi akan berakibat menghambat pembangunan dan inflasi yang rendah dan stabil justru diperlukan dalam pembangunan ekonomi nasional.

Menurut Yustika (2010)[4], beban inflasi dalam struktur ekonomi yang sehat adalah hampir merata terhadap seluruh penduduk, meskipun penanggung terberat inflasi adalah masyarakat berpendapatan tetap dan masayarat yang tidak memiliki pendapatan (penganggur).  Inflasi akan mengakibatkan penurunan daya beli rupiah. Hal tersebut merupakan masalah penting karena bila tidak dikendalikan akan mengakibatkan stagnasi, yaitu keadaan dimana pertumbuhan ekonomi berjalan lambat atau bahkan berhenti. Lonjakan inflasi yang tinggi dan tidak diimbangi oleh pemerataan eknomi akan memperluas kemiskinan, hal ini akan semakin diperparah dengan peningkatan pengangguran.

Dalam keadaan inflasi, nilai harta seperti tanah, rumah, bangunan, pertokoan dan sebagainya akan mengalami kenaikan harga. Kenaikan harga tersebut seringkali lebih cepat dari kenaikan inflasi itu sendiri. Sebaliknya pendapatan riil penduduk berpenghasilan rendah merosot. Dengan demikian maka inflasi memperlebar kesenjangan distribusi pendapatan antara anggota-anggota masyarakat.

Indonesia mengalami fluktuasi tahunan yang beragam seperti ditunjukkan pada gambar 1 dan fluktuasi bulanan pada gambar 2.

1-png-5cfef3d43ba7f70e8b7088ca.png
1-png-5cfef3d43ba7f70e8b7088ca.png
Gambar 1. Laju Inflasi Tahunan Bulan Januari di Indonesia, 2010-2019

2-png-5cfef405c01a4c3ea55e1efc.png
2-png-5cfef405c01a4c3ea55e1efc.png
Gambar 2. Laju Inflasi Bulanan di Indonesia, 2010-2019

Sumber : BPS, dalam beberapa tahun

 Mengingat pentingnya mengatasi masalah inflasi, maka perlu penanganan yang serius dalam pengerjaannya. Untuk mengatasi hal tersebut, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui penyebab terjadinya inflasi agar jalan untuk mengatasinya dapat diketahui. Beberapa ahli ekonomi sepakat bahwa inflasi tidak hanya berhubungan dengan jumlah uang yang beredar, akan tetapi juga berhubungan dengan jumlah barang dan jasa yang tersedia di masyarakat. Oleh sebab itu, untuk mengatasi masalah inflasi dibutuhkan kebijakan yang tepat. Kebijakan yang bisa diambil untuk mengatasi masalah inflasi ada tiga yaitu kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan lainnya.

Dapat disimpulkan bahwa kebijakan ekonomi makro diperlukan untuk menopang kestabilan ekonomi suatu negara. Masyarakat miskin memiliki aset yang terbatas dan karena timbulnya inflasi, mereka akan membayar harga lebih tinggi sebagai pajak. Kebijakan yang harus dilakukan adalah membuat kerangka kerja kelembagaan yang lebih baik, sehingga kinerja ekonomi makro dapat mengatur inflasi yang rendah dan stabil serta dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Kebijakan ekonomi makro di Indonesia dalam peningkatan kesejahteraan menjadi suatu masalah penting untuk diketahui dan diselesaikan. Karena pengaruh inflasi berbeda pada kelompok masyarakat kaya dan miskin maka diperlukan juga susunan kebijakan yang berbeda pada masing-masing kelompok.

   

[1] Todaro, M.P.; Smith, S.C. Economic Development, 11th ed.; Prentice Hall: Upper Saddle River, NJ, USA, 2012

[2] BPS. 2008b. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2008. Badan Pusat Statistik, Jakarta

[3] Widodo, Suseno Triyanto. 1990. Indikator Ekonomi. Kanisius, Yogyakarta

[4] Yustika, Ahmad Erani. 2010. Analisis Ekonomi: Inflasi dan Ketimpangan Pendapatan. JurnalUni Sosial Demokrat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun