Sebelas tahun yang lalu tepatnya Minggu 26 Desember 2004, Banda Aceh yang memiliki luas 6135,90 Ha dan terdiri dari 9 kecamatan menjadi salah satu wilayah yang terkena bencana dahsyat tsunami. BPS mencatat jumlah penduduk kota Banda Aceh pra-tsunami pada tahun 2004 sebanyak 239.146 jiwa. Sementara itu, setahun pasca tsunami jumlah penduduk kota Banda Aceh menjadi 177.881 jiwa. Data tersebut menjelaskan bahwa tsunami telah merenggut 61.265 penduduk kota Banda Aceh. Namun tahun demi tahun pun berlalu, jumlah penduduk Banda Aceh terus mengalami peningkat.
Banyak orang yang kehilangan pasangan atau anak – anaknya. Sehingga, angka pernikahan dan kelahiran pun meningkat. Selain itu, banyak juga para pendatang baru yang datang ke Banda Aceh dengan tujuan untuk mencari pekerjaan atau membuka lapangan pekerjaan baru. Mereka menganggap Banda Aceh yang sedang dalam masa pembangunan merupakan lapangan yang tepat untuk mencari pekerjaan atau membuka lapangan pekerjaan baru.
Pada tahun 2014 BPS mencatat jumlah penduduk kota Banda Aceh sebanyak 249.499 jiwa. Pada tahun 2015 diperkirakan jumlah penduduk kota Banda Aceh mencapai 257.920 jiwa.Pertambahan jumlah penduduk ini juga akan menambah masalah – masalah kependudukan, seperti berkurangnya lahan pemukiman. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya orang yang bekerja di Banda Aceh namun tinggal di Aceh Besar.
Melihat kenyaataan tersebut, pada pertengahan tahun 2015 lalu pernah ada wacana dari pemerintah untuk memperluas wilayah ibu kota provinsi Aceh dengan cara menjadikan beberapa wilayah yang menjadi perbatasan antara Banda Aceh dan Aceh Besar sebagai wilayah Kota Banda Aceh. Wacana tersebut rasanya tidak perlu direalisasikan, pemerintah Banda Aceh dan Aceh Besar hanya perlu bersinergi dan beriringan dalam merencanakan tata ruang dan pembangunan wilyah. Sehingga dapat saling membantu dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu contoh permasalahan yang perlu dibicarakan bersama antara pemerintah Banda Aceh dan Aceh Besar adalah transportasi umum bagi masyarakat yang kesehariannya bekerja di Banda Aceh, namun tinggal di Aceh Besar. Saat ini, transportasi umum yang mampu menampung banyak orang adalah labi – labi (angkot).
Kini pengguna labi – labi terus berkurang, sementara volume pengguna kendaraan pribadi terus meningkat. Hal inilah yang menyebabkan beberapa ruas jalan utama di Banda Aceh mulai mengalami kemacetan. Melihat kenyataan tersebut, pemerintah pun berusaha menghadirkan transkutaraja yang akan diresmikan awal tahun depan.
Dua puluh dua unit trans kutaraja telah disiapkan, rencananya akan digratiskan bagi pelajar. Trans kutaraja akan melewati enam jalur, yaitu Kota Banda Aceh – Darussalam, Bandara SIM – Terminal Batoh dan Ulee Lheue, Kota Banda Aceh Mata Ie, Kota Banda Aceh – Ajun hingga Lhoknga, Ulee Kareng – Terminal Batoh, dan Keudah – Syiah Kuala. Selain itu, halte – halte trans kutaraja juga telah bermunculan disepanjang ruas – ruas jalan yang akan dilewatinya.
Berbagai pro dan kontra mengenai pengadaan trans kutaraja mulai hadir di kalangan masyarakat. Seperti layaknya kanan dan kiri, setiap keputusan pasti ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. Namun dibalik segala pro dan kontra tersebut, sudah efektifkah pengadaan trans kutaraja yang diperkirakan menghabiskan dana puluhan milyar tersebut?
Proyek pemerintah ini sebenarnya patut diacungi jempol. Dengan adanya proyek ini, pemerintah Kota Banda Aceh dapat dikatakan cepat tanggap terhadap permasalahan yang ada. Sebelum Banda Aceh mengalami kemacetan parah seperti di ibukota – ibukota provinsi lain, pemerintah Kota Banda Aceh segera mengantisipasi terlebih dahulu.
Namun kenyataannya proyek ini dapat dikatakan belum matang. Mengapa demikian?, karena jalan – jalan yang akan dilewati trans kutaraja merupakan jalan yang ramai dilalui masyarakat dan jalan – jalan tersebut dapat dikatakan tidak terlalu besar untuk menerima tamu sebesar bus trans kutaraja yang akan bolak – balik berkali – kali dalam satu hari. Bukannya mengurangi kemacetan, keberadaannya malah bisa jadi menyebabkan kemacetan dan mengganggu pengguna jalan lainnya. Oleh karena itu, trans kutaraja butuh jalaur sendiri agar lebih unggul dalam hal kecepatan waktu dan tidak mengganggu penggguna jalan lain sehingga menjadi ketertarikan bagi masyarakat.
Selain itu 622 halte trans kutaraja yang saat ini sedang dalam proses pembangunan dinilai tidak ramah disabilitas. Halte – halte tersebut masih kurang memperhatikan calon penumpang berkebutuhan khusus atau disabilitas. Hal ini dilihat dari tidak adanya ramp (jalur landai untuk kursi roda) yang terdapat pada halte yang tengah dibangun. Di sejumlah halte memang terdapat ramp, namun kemiringannya terlalu curam sehingga tidak bisa diakses secara aman oleh penyandang disabilitas.
Dari berbagai pro dan kontra yang bertebaran di masyarakat, pemerintah dirasa perlu untuk kembali “duk pakat” mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Tujuannya ialah agar trans kutaraja dapat diterima dengan baik oleh masyarakat dan proyek puluhan milyar ini tak sia – sia begitu saja.
Hal lain yang berkaitan dengan transportasi juga adalah pengadaan taksi legal yang setelah sebelas tahun tsunami keberadaannya belum juga kembali. Padahal sebelum tsunami, taksi merupakan angkutan umum yang sangat bermanfaat bagi masyarakat. Walaupun kebanyakan masyarakat Banda Aceh saat ini lebih senang menggunakan kendaraan pribadi, namun keberadaan taksi sebagai angkutan umum yang aman dan nyaman masih sangat diharapkan.
Selain itu keberadaan taksi juga sangat membantu dalam hal pariwisata Kota Banda Aceh yang beberapa tahun terakhir terus ditingkatkan. Banyak wisatawan yang datang ke Banda Aceh kebingungan mencari transportasi yang nyaman dan aman sekelas mobil pribadi dan pada akhirnya mereka akan menggunakan taksi gelap atau ilegal yang tidak jelas identitasnya.
Oleh karena itu, pemerintah diharapkan segera menghadirkan kembali taksi di sekitar masyarakat. Untuk pengadaannya pemerintah dapat bekerja sama dengan pihak – pihak swata yang sudah sering “bermain” dengan angkutan umum agar rencana ini benar – benar tepat sasaran dan dapat segera terealisasikan.
Dari berbagai permasalahan yang muncul, pemerintah Kota Banda Aceh diharapkan mampu menentukan kebijakan – kebijakan yang tepat dan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Selain itu peringatan sebelas tahun tsunami pada tahun 2015 ini, diharapkan dapat mengingatkan kita untuk terus mengembangkan Banda Aceh menjadi kota yang lebih baik, nyaman, islami dan dicintai oleh penduduk layaknya visi yang dicanangkan oleh Ibu Walikota Illiza yaitu Banda Aceh Model Kota Madani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H