Mohon tunggu...
Ni'matur Rizqiyah Ibrahim Mariz
Ni'matur Rizqiyah Ibrahim Mariz Mohon Tunggu... -

Nothing is Impossible\r\nAND\r\nImpossible is I'm Possible

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Faktor-faktor Kepribadiannya Hans Eysenck

13 Mei 2014   03:00 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:34 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teori Faktor Eysenck

Hans Eysenck adalah pendiri departemen psikologi klinis di University of London yang memiliki salah satu teori kepribadian yang mempunyai komponen biologi dan psikometri yang kuat. Namun, Eysecnck beragumen bahwa psengukuran dengan psikometris tidak cukup kuat untuk mengukur struktur kepribadian manusia dan dimensi kepribadian.

Kriteria dalam Mengidentifikasi Faktor

Dari asumsi tersebut, Eysenck membuat empat daftar kriteria dalam mengidentifikasi suatu faktor tertentu. Pertama, bukti dari psikometrik, faktor harus reliabel dan dapat direplikasi. Kedua, adalah faktor yang harus mempunyai keterwarisan (heritability) dan harus sesuai dengan model genetis yang sudah dikenal sebelumnya.

Ketiga,  faktor tersebut harus masuk akal saat dipandang dari segi teoritis. Kriteria terakhir untuk eksistensi suatu faktor adalah bahwa faktor harus mempunyai relevansi sosial, yaitu harus ditunjukkan bahwa faktor yang didapatkan secara matematis harus mempunyai hubungan dengan variabel sosial yang relevan.

Dimensi Kepribadian menurut Eysenck

Eysenck hanya mengekstrak tiga superfaktor umum, diantaranya :

Ekstraversi (E) :

Konsep Eysenck tentang ekstraversi dan introversi, lebih dekat dengan pengertian populer. Ekstraversi terutama dicirikan oleh perasaan sosial dan keimplusifan namun oleh juga rasa humor, kegairahan hidup, kepekaan terhadap hal-hal yang lucu, optimisme, dan sifat-sifat lain yang mengindikasikan penghargaan terhadap hubungan dengan sesamanya (Eysenck & Eysenck, 1969). Sedangkan pribadi introvert dicirikan oleh sifat yang sebaliknya.

Menurut (Eysenck, 1982), perbedaan ekstraversi dan intraversi bukanlah pada aspek behavioral, melainkan lebih pada tartaran biologis dan genetik. Eysenck (1997a) yakin bahwa sebab utama perbedaan antara  ekstraversi dan intraversi berada di tingkat stimulasi kulit otak, sebuah kondisi fisiologis yang diwarisi bukannya dipelajari. Karena pribadi ekstrover memiliki tingkat stimulasi kulit otak lebih rendah ketimbang pribadi introver, mereka memliki ambang indrawi lebih rendah mengalami reaksi lebih besar terhadap stimulasi indrawi.

Neurotisme (N) atau stabilitas :

Faktor N ini mempunyai komponen hereditas yang kuat. Eysenck (1967) menyatakan bahwa ada beberapa penelitian telah menemukan bukti dari dasar genetik untuk menemukan bukti dari dasar genetik untuk sifat neurotik, seperti kecemasan, histeria, dan gangguan obsesif-kompulsif.

Orang-orang yang mempunyai skor yang tinggi dalam neurotisme mempunyai kecenderungan untuk bereaksi berlebihan secara emosional, dan mempunyai kesulitan untuk kembali ke kondisi normal setelah terstimulasi secara emosional.

Psikotisme (P) :

Awalnya, teori Eysenck tentang kepribadian didasarkan hanya kepada dua dimensi kepribadian-ekstraversi dan neurotisme. Setelah beberapa tahun menganggap psikotisme (P) sebagai faktor kepribadian sendiri, Eysenck akhirnya menaikannya ke posisi yang sama dengan E dan N (Eysenck & Eysenck, 1976). Seperti ekstraversi dan neurotisme, P adalah faktor yang bersifat bipolar, dimana psikotisme berada di satu kutubnya dan superego di kutub yang lain.

Skor P yang tinggi seringkali berbentuk egosentrisme, dingin, tidak bersahabat, implusif, kejam, agresif, penuh curiga, psikopat, dan anti sosial. Pribadi yang rendah psikotismennya (mengarah kepada superego) cenderung altrustik, berjiwa sosial, empatik, penuh perhatian, kooperatif, bersahabat, dan kontrovensional (S. Eysenck, 1997).

Eysenck (1994, hlm. 20) berhipotesis bahwa manusia yang tinggi psikotismenya memiliki “predisposisi yang tingggi untuk menjadi stres dan mengembangkan gangguan psikotik”.  Menurut Eysenck (1994b, 1994c) semakin tinggi skor psikotisme, semakin rendah tingkat stres yang dibutuhkan untuk mengundang reaksi psikotik.

Semoga sedikit ilmu ini bisa bermanfaat untuk kita semua... ^_^

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun