Teori Faktor Eysenck
Hans Eysenck adalah pendiri departemen psikologi klinis di University of London yang memiliki salah satu teori kepribadian yang mempunyai komponen biologi dan psikometri yang kuat. Namun, Eysecnck beragumen bahwa psengukuran dengan psikometris tidak cukup kuat untuk mengukur struktur kepribadian manusia dan dimensi kepribadian.
Kriteria dalam Mengidentifikasi Faktor
Dari asumsi tersebut, Eysenck membuat empat daftar kriteria dalam mengidentifikasi suatu faktor tertentu. Pertama, bukti dari psikometrik, faktor harus reliabel dan dapat direplikasi. Kedua, adalah faktor yang harus mempunyai keterwarisan (heritability) dan harus sesuai dengan model genetis yang sudah dikenal sebelumnya.
Ketiga, faktor tersebut harus masuk akal saat dipandang dari segi teoritis. Kriteria terakhir untuk eksistensi suatu faktor adalah bahwa faktor harus mempunyai relevansi sosial, yaitu harus ditunjukkan bahwa faktor yang didapatkan secara matematis harus mempunyai hubungan dengan variabel sosial yang relevan.
Dimensi Kepribadian menurut Eysenck
Eysenck hanya mengekstrak tiga superfaktor umum, diantaranya :
Ekstraversi (E) :
Konsep Eysenck tentang ekstraversi dan introversi, lebih dekat dengan pengertian populer. Ekstraversi terutama dicirikan oleh perasaan sosial dan keimplusifan namun oleh juga rasa humor, kegairahan hidup, kepekaan terhadap hal-hal yang lucu, optimisme, dan sifat-sifat lain yang mengindikasikan penghargaan terhadap hubungan dengan sesamanya (Eysenck & Eysenck, 1969). Sedangkan pribadi introvert dicirikan oleh sifat yang sebaliknya.
Menurut (Eysenck, 1982), perbedaan ekstraversi dan intraversi bukanlah pada aspek behavioral, melainkan lebih pada tartaran biologis dan genetik. Eysenck (1997a) yakin bahwa sebab utama perbedaan antara ekstraversi dan intraversi berada di tingkat stimulasi kulit otak, sebuah kondisi fisiologis yang diwarisi bukannya dipelajari. Karena pribadi ekstrover memiliki tingkat stimulasi kulit otak lebih rendah ketimbang pribadi introver, mereka memliki ambang indrawi lebih rendah mengalami reaksi lebih besar terhadap stimulasi indrawi.
Neurotisme (N) atau stabilitas :
Faktor N ini mempunyai komponen hereditas yang kuat. Eysenck (1967) menyatakan bahwa ada beberapa penelitian telah menemukan bukti dari dasar genetik untuk menemukan bukti dari dasar genetik untuk sifat neurotik, seperti kecemasan, histeria, dan gangguan obsesif-kompulsif.
Orang-orang yang mempunyai skor yang tinggi dalam neurotisme mempunyai kecenderungan untuk bereaksi berlebihan secara emosional, dan mempunyai kesulitan untuk kembali ke kondisi normal setelah terstimulasi secara emosional.
Psikotisme (P) :
Awalnya, teori Eysenck tentang kepribadian didasarkan hanya kepada dua dimensi kepribadian-ekstraversi dan neurotisme. Setelah beberapa tahun menganggap psikotisme (P) sebagai faktor kepribadian sendiri, Eysenck akhirnya menaikannya ke posisi yang sama dengan E dan N (Eysenck & Eysenck, 1976). Seperti ekstraversi dan neurotisme, P adalah faktor yang bersifat bipolar, dimana psikotisme berada di satu kutubnya dan superego di kutub yang lain.
Skor P yang tinggi seringkali berbentuk egosentrisme, dingin, tidak bersahabat, implusif, kejam, agresif, penuh curiga, psikopat, dan anti sosial. Pribadi yang rendah psikotismennya (mengarah kepada superego) cenderung altrustik, berjiwa sosial, empatik, penuh perhatian, kooperatif, bersahabat, dan kontrovensional (S. Eysenck, 1997).
Eysenck (1994, hlm. 20) berhipotesis bahwa manusia yang tinggi psikotismenya memiliki “predisposisi yang tingggi untuk menjadi stres dan mengembangkan gangguan psikotik”. Menurut Eysenck (1994b, 1994c) semakin tinggi skor psikotisme, semakin rendah tingkat stres yang dibutuhkan untuk mengundang reaksi psikotik.
Semoga sedikit ilmu ini bisa bermanfaat untuk kita semua... ^_^
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H