Mohon tunggu...
nani rachmaini
nani rachmaini Mohon Tunggu... karyawan swasta -

penyuka sepakbola dan sastra yang kerja di industri media.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kota Kecil, Awan Gelap, dan Buku

21 April 2011   14:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:33 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kalau anda tinggal di sebuah daerah terpencil, lalu bekerja, berumah tangga di sana, sepertinya hidup akan berjalan begitu saja. Tiap pagi anda bangun tidur, bekerja, lalu pulang kerja nonton tivi, sesekali bermain bersama anak, lalu istirahat, untuk kembali bekerja esok harinya.

Jika anda tinggal di sebuah daerah yang terpencil, atau taruhlah, sebuah kota kecil, maka bersiaplah menjadi terlupakan. Barangkali di atas langit-langit kota anda, ada segulung awan gelap, kumpulan sumpah serapah orang-orang di sana, dan sumpah serapah kaum pendatang. Suka tidak suka, tinggal di kota kecil memang harus sering berhadapan dengan keluhan, meskipun di kota besar juga tak kurang keluhannya.  Soal transportasi yang buruk, fasilitas air bersih dan listrik yang tidak memadai, hiburan yang sedikit, pertunjukan seni yang amat jarang, tontonan yang itu-itu saja. Bagi pendatang dari kota besar, eksotisme daerah terpencil hanya akan berlangsung singkat saja dalam kehidupan mereka. Lambat laun yang dirasakan adalah, debu jalanan, udara yang panas, nyamuk, listrik byar pet, dan air ledeng yang sering mati.

Mengutip Tim Harford dalam bukunya "logika hidup", kota besar menjadi insentif bagi manusia yang tinggal di sana, karena hembusan angin pengetahuan, yang berputar-putar di dalam kota, dan meniup siapa saja, menyentuh mereka, dan membuat penduduknya lebih sering mendapat ide, berinovasi dan bergerak maju (kira-kira begitu, karena saya tidak melakukan copy paste terhadap tulisan beliau, lebih ke persepsi seingat saya).

Bahkan ia  sempat menyatakan, bahwa sebaiknya pemerintah memberi insentif uang kepada korban bencana alam di daerah terpencil, bukan untuk membangun kembali rumah mereka, namun memindahkan mereka ke kota yang lebih maju dan lebih besar.

Lalu bagaimana dengan mereka yang terperangkap di daerah terisolir, yang mencari penghasilan untuk menyambung hidup sehari-hari, bergaul dengan orang yang sama, orang yang itu ke itu saja, jauh dari seliweran ide dan informasi terbaru? Dan bayangkan ini terjadi terus menerus, setiap hari, sampai ajal menjemput.

Awan pengetahuan kelihatannya hanya ada  samar-samar di kota kecil. Bagi saya, salah satu jalan keluar untuk mengatasinya, hanya melalui buku.

Terima kasih kepada internet, karena kini tak sulit lagi untuk mencari buku-buku bagus. Jika di toko buku lokal seperti Gramedia (untunglah, sejak dua tahun lalu Gramedia sudah buka cabang di Jambi), tidak ada, kami bisa membeli buku idaman dengan cara online.

Buku mampu mengasah imajinasi, dan mengecas otak setiap waktu. Membuat kita mengetahui apa yang terjadi di luar sana, bagaimana orang-orang berpikir, dan apa yang mampu mereka capai.

Membuat kita sadar, bagaimana lingkungan tempat kita tinggal. Apakah yang perlu dilakukan untuk mengubah, ataupun mengupayakan perbaikan di sana-sini.

Buku juga yang membuatku dulu sering bercerita kepada anakku sebelum tidur. Kisah-kisah Enid Blyton yang ku ubah di sana-sini, lalu dongeng-dongeng klasik lainnya. Kini anakku sudah menulis beberapa lembar halaman, berisi beberapa judul cerpennya. Entahlah apakah akan ada yang menerbitkannya nanti, namun bagiku itu adalah permulaan.

Membuatku menjadi seperti apa adanya diriku sekarang. Melihat ke masa lalu, aku tidak bisa membayangkan kalau aku tidak tersentuh oleh buku. Barangkali aku yang sekarang hanya sekadar menjadi ibu rumah tangga, yang disibukkan oleh pekerjaan sehari-hari yang monoton (sekarang masih, namun aku punya kehidupan di luar itu yang luar biasa, membaca buku), yang bisa menumpulkan otak, (ini lah yang dikatakan harford, melakukan pekerjaan yang itu-itu saja memang membuat anda semakin ahli, namun mematikan syaraf anda mengenai pengetahuan lainnya yang mungkin dulunya anda miliki).

Jangan tinggalkan buku. Saya berkata kepada adik saya,  "Jangan menjadi seperti orang yang memiliki beberapa mobil di garasi, namun tidak memiliki perpustakaan pribadi." Dia sendiri memang pembaca buku dan pembeli buku yang rajin. Sebelum saya mengatakan itu, ia sedang dalam tahap membuat perpustakaan mini di rumah barunya.

Membentuk Manusia

Persentuhan yang intens dengan buku jarang terjadi secara semerta-merta. Saat awal-awal berkuliah, saya hanya sekadar pembaca majalah dan komik seperti donal bebek. Kalaupun ada buku di rumah, itu hanya sebatas buku populer cerita anak, yang sering dibelikan oleh ayah saya. (saya bersyukur setidaknya beliau telah mulai menanamkan bibit membaca buku tersebut).

Sampai suatu ketika, seorang teman menantang saya untuk membaca buku pramoedya ananta toer, dan langsung disodorkannya buku tetralogi manusia. Ini buku berat pertama yang saya baca, dan sungguh sulit untuk menyelesaikannya. Bisa saja saya putus di tengah jalan, hanya sampai buku pertama atau kedua. Namun ketika saya selesai membaca keempatnya, lalu menyusul buku-buku pram yang lain.

Ada satu rahasia kecil dalam hobi membaca buku. Selesaikan membaca. Jika anda tidak menyelesaikannya, maka jarang sekali anda akan mendapat manfaatnya. Ini berlaku untuk buku-buku bermutu yang memang layak dibaca.

Setelah itu saya mulai membaca buku-buku sastra. Buku terberat yang berhasil saya selesaikan adalah novel dr zhivago karya boris pasternak. Sungguh berat membaca buku ini, bagi saya yang baru mulai membaca. Tiap kali, kemajuannya hanya dua tiga halaman saja. Kadang berhari-hari kemudian baru saya sambung lagi.  Sebulan mungkin hanya beberapa kali saya buka, untuk menyambungnya. Sehingga butuh hampir setahun, ketika saya mencapai halaman terakhir.

Sensasi membaca buku bermutu baru anda rasakan beberapa saat setelah anda mencapai halaman terakhir, sekitar belasan menit setelahnya, saat anda terpaku, lalu pelan-pelan cahaya buku itu merasuki dada, dan pikiran anda.

Sejak saat itu, saya adalah pemburu buku-buku bermutu.  Sungguh saya merasa bersyukur, jika saja saya masih seperti saya yang dulu, hanya membaca buku-buku populer, komik, dan cerita-cerita ringan, maka kehampaan yang terkadang kita rasakan, sebagai seorang manusia, barangkali akan semakin sering menyeruak dalam batin kita.

Terima kasih kepada penulis-penulis buku bermutu, yang sudah membagi intisari pengetahuan mereka kepada saya. Yang sudah mengajari saya, membimbing, dan menunjukkan kepada saya sebuah dunia lain yang berbeda, mungkin lebih ideal, lebih baik dari dunia saya sekarang. Tempat saya memiliki perbandingan terhadap hidup, tempat berkaca, dan memberi kemudahan dalam saya memilih pilihan-pilihan hidup.

terima kasih kepada para penulis, yang tidak bisa saya sebut satu persatu, pram, tan malaka, penulis jepang, penulis barat, timur dan segenap mereka yang telah menyentuh saya lewat buku.

Syukurlah saya sudah sampai di mana tempat saya sekarang, dan Insya Allah saya akan terus berjalan, dengan buku-buku yang akan terus mengiringi perjalanan saya, membentuk saya menjadi manusia yang lebih baik, lebih bermartabat, lebih beradab dan lebih peduli dengan lingkungan saya. Menjadikan saya soerang yang rendah hati, dan menyebarkan kebaikan bagi segenap makluk di bumi. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun