Menikmati makanan bukan hanya masalah pemenuhan asupan gizi. Mengait rasa dan budaya masyarakat. Bahkan termaktub filosofi yang menyertainya. Sepincuk nasi liwet Solo, rasa dan filosofi.
Nasi liwet salah satu ikon kuliner kota Solo
Kota Solo memiliki aneka kuliner andalan. Salah satu yang ikonik adalah nasi liwet alias sega liwet. Sepincuk nasi gurih dengan racikan khasnya mampu menyatukan aneka komunitas saat menyantapnya.
Penjaja nasi liwet betebaran di segala penjuru kota Solo. Pun waktu bukanya bervariasi. Lazimnya mulai buka sore hari hingga tengah malam.
Teringat sekian dasa warsa lalu lesehan menikmati nasi liwet Mbah Wongso Lemu di daerah Keprabon Solo. Suasana yang khas, pengunjung dihibur lantunan tembang Jawa diiringi alat musik siter. Lain kali menikmati di warung Bu Sani daerah Nggemblegan.
Menurut telaah nasi liwet ini berasal dari desa Menuran Sukoharja, di sebelah selatan kota Solo. Cita rasanya dapat diterima oleh warga Solo dan merambat kepada pencicipnya. Bermula dari komponen ritual budaya.
Nasi liwet berupa nasi gurih, paduan santan dan rempah semisal serai, daun salam, daun jeruk purut pun sejumput garam. Sayuran penyertanya adalah sambal goreng jipan atau labu siam. Lauk opor ayam dan pindang telur ayam sebagai sumber protein hewani.
Ada pula yang disertakan sambal goreng krecek dari kulit sapi. Beberapa menggunakan kerupuk urat sapi yang khas. Kini tersedia aneka lauk pendamping siap pilih sesuai selera dan harga.
Penyajiannya unik dialasi pincuk daun pisang. Tatanan kekinian ada pincuk jadi dari anyaman bambu tinggal dialasi daun pisang. Bila tidak tersedia pincuk, piring anyaman dialasi samir daun pisang bundar.