Sentuhan nasi gurih panas pada daun pisang menguarkan aroma yang khas arum. Topping areh, santan kental kelapa kelapa di atas sayur daun labu dan lauk yang ditata menambah selera. Cita rasa berpadu dengan tata saji.
Tidak harus jajan di Solo. Sahabat Kompasiana dapat mengolahnya sendiri untuk sajian keluarga atau suguhan acara. Bahan maupun cara memasaknya relatif mudah tanpa tingkat kesulitan yang ribet.
Nasi liwet lekat dengan acara perayaan Maulid Nabi. Diilhami oleh nasi samin klangenan nabi. Hambatan kesulitan mendapatkan minyak samin dikreasikan dengan nasi liwet plus santan kelapa.
Keberadaan kuliner nasi liwet menghidupkan suasana plesiran malam. Melibatkan banyak pengusaha UMKM dan pegawainya. Mendorong perputaran roda ekonomi setempat.
Nuansa santai terbangun saat menikmati sepincuk nasi liwet. Antar penikmat duduk lesehan di tikar yang sama. Bisa juga di dingklik kayu yang sama. Meniadakan batas sekat antar penyantap.
Filosofi nasi liwet Solo
Masakan adalah produk budaya. Sangat erat diwarnai nilai budaya masyarakat pembuat dan penyantapnya. Layaknya adat Jawa yang dibarengi dengan makna filosofis, begitupun nasi liwet ini.
Nasi gurih putih dilekati simbol ketulusan hati yang bersih. Keberadaan telur sebagai lambang kehidupan. Pertumbuhan janin juga diawali dari sel telur yang dibuahi. Suwiran ayam dimaknai sebagai kebersamaan.
Secara fisik terlihat nasi diambil dari bakul yang sama. Sayur dari kuali yang sama. Pun ayam disuwir dari kesatuan ayam utuh. Simbol kebersamaan yang dihidupkan dalam sepincuk nasi liwet. Lahir dari kearifan lokal masyarakat.
Beberapa kajian menunjukkan keberadaan nasi liwet Solo sebagai sarana tolak bala. Tentunya perlu dimaknai secara hati-hati. Mengait simbol kedekatan dengan Sang Sumber Hidup, menempatkan pengharapan kepada Sang Pencipta.